Rabu, 27 Agustus 2008

Pramugari Merangkap Pedagang Asongan




Maskapai penerbangan di tanah air cukup banyak jumlahnya. Walau jika ditotal masih bisa dihitung dengan jari kaki dan tangan. Itu belum termasuk maskapai dari luar yang juga mencari rejeki di sini.

Harga tiket yang ditawarkan masing-masing maskapai juga beragam. Meski rute dan jarak yang ditempuh sebenarnya sama. Yang membedakan hanya kualitas pelayanan selama di udara.

Penumpang Garuda Airlines sudah pada tahu harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk bisa terbang. Penumpangnya pun kebanyakan berasal dari kalangan berkelas. Namun pelayanan yang didapatkan selama penerbangan juga sebanding dengan ongkosnya. Sesudah duduk dikursinya, sebelum berangkat penumpang ditawari permen lebih dulu. Kemudian di tengah perjalanan dibagikan makanan gratis oleh para pramugari. Untuk minumnya juga tinggal pilih mau apa, soft drink, coffee, teh, hingga susu. Kalau toh masih terasa haus, penumpang masih diperkenankan menambah minuman. Tinggal bilang saja. Pokoknya penumpang diperlakukan sebagai raja.

Harga tiket pesawat yang lebih murah dari Garuda tentu lain lagi pelayanannya. Ada maskapai yang hanya menyediakan kue atau roti saja di dalam sebuah kotak, plus segelas air mineral plastik. Bahkan ada juga hanya segelas air mineral plastik saja.

Kalau penumpang pesawat Lion Air atau Wings Air justru tidak mendapatkan apa-apa. Tapi di atas pesawat menariknya ada “pedagang asongan” yang menjajakan makanan. Tentu bukan pedagang asongan sembarangan. Melainkan para pramugari yang mendorong “gerobak makanan dan minuman ringan” sambil menyinggahi tiap penumpang sambil bertanya; “Bapak, ibu, adik mau beli makanan atau minuman,” tawarnya kepada penumpang.

Huahahaha…, pramugari Lion Air atau Wings Air ternyata lebih hebat ketimbang pramugari Garuda. Mereka ternyata tak hanya dibekali ilmu sebagai pramugari yang handal. Pramugari yang cantik-cantik itu juga diajari gimana caranya jadi “pedagang asongan” yang sopan. Hebat sekali bukan?

Saya hanya tidak bisa membayangkan suasananya jika seandainya seluruh penumpang itu membawa bekal makanan dari rumahnya masing-masing. Bekal makanannya itu dibuat ke dalam rantang atau nasi bungkus. Kemudian dibuka rame-rame mirip orang tamasya sekeluarga di pantai. Pasti weleh…, weleh…, weleh…, suasananya.

Yeah, daripada beli makanan atau minuman di bandara. Harganya sudah pasti selangit lantaran pajaknya gede banget. Selain itu, belum tentu sesuai dengan selera.

Kamis, 21 Agustus 2008

Pindahkan PKL ke Pasar Gratis




PKL alias pedagang kaki lima sudah rahasia umum jadi musuh bebuyutan petugas Satpol PP. Terutama PKL yang masih suka bandel menjajakan dagangannya di daerah terlarang. PKL sering mengajak kucing-kucingan petugas. Maklum yang dilarang itu tempatnya justru strategis untuk berdagang.

PKL sering dicap pemerintah sebagai perusak keindahan pemandangan kota. Wadah berdagangnya asal-asalan bentuk dan warnanya. Lokasinya juga di emperan mana saja. Ada yang mempersempit jalan raya. Ada yang merebut trotoar jatahnya pejalan kaki. Ada yang memakai lahan milik orang lain dan sangat keterlaluan ketika diminta pindah malah minta ganti rugi.

PKL sebenarnya juga ada sisi positifnya. Saat kehabisan bahan bakar di jalan, kebetulan ada pedagang bensin eceran. Saat ada keperluan di tengah malam dan toko-toko sudah pada tutup semua, kebetulan ada warung jalanan. Saat krisis moneter menerpa Negara kita, PKL jadi solusi tepat bagi karyawan yang dipecat.

Pertanyaannya adakah cara mengangkat harkat dan martabat para PKL? Berandai-andai kan boleh. Misalnya bagaimana kalau begini; pemerintah bikin saja pasar gratis.

Yeah, sekarang kan zamannya lagi rame yang gratisan. Terutama rame diucapkan calon kepala daerah pada masa kampanye. “Pilihlah saya, pendidikan gratis”. “Pilihlah saya, kalau sakit berobat akan gratis”. “Pilihlah saya, bikin KTP gratis”.

Kalau pasar digratiskan tentu akan disambut antusias oleh PKL. Yup, problem yang dihadapi PKL selama ini kalau ingin berdagang di pasar maka tak akan sanggup menyediakan ongkos tebus toko. Ukuran wadah berjualan yang sempit saja mahalnya kelewatan.

Itu belum termasuk beban retribusi yang begitu rupa dan harus dibayar tiap hari. Ada retribusi sampah. Ada retribusi pengelola pasar. Ada retribusi parkir. Hingga ada “retribusi” preman pasar. PKL akan tujuh kali berpikir untuk berpindah berdagang ke pasar.

Apakah mungkin pasar digratiskan? Digratiskan sama sekali sih sebaiknya nggak juga. Paling tidak yang gratis itu ongkos tebus toko saja. Itu sudah meringankan PKL yang hendak pindah berdagang ke pasar. Sementara untuk retribusi masih perlu ada. Tujuannya untuk menambah pendapatan asli daerah yang nantinya digunakan lagi untuk membangun pasar-pasar yang baru—di lokasi lain.

Ketika kebijakan meniadakan ongkos tebus toko ini dimulai harus diakui jumlah PAD akan berkurang. Namun itu terjadi di awal saja. Lama kelamaan jumlah pasar yang baru dibangun akan terus bertambah. Lama kelamaan jumlah pedagang resmi juga terus berlipat ganda. Lama kelamaan membeludaknya jumlah pedagang membuat hasil retribusi yang dipungut tiap hari juga semakin banyak.

Peredaran uang masyarakat semakin cepat berputar. Perekonomian otomatis meningkat tajam. Di sisi lain jumlah PKL yang dianggap merusak pemandangan semakin berkurang. Jadi bagaimana pendapat Anda?

Jumat, 08 Agustus 2008

PLN Katanya Kok Rugi?



PLN selalu rugi! Wah, ini bukanlah berita menghebohkan. Semua orang sudah pada tahu. Sejak dulu PLN mengaku selalu mengalami kerugian.

Tiap tahun juga selalu minta disubsidi kepada pemerintah. Angka subsidinya juga selalu mencengangkan. Bukan miliaran Rupiah lagi. Tapi, sudah triliunan.

Dengan subsidi saban tahun itu pun sayangnya PLN tak mampu melayani permintaan konsumen sepenuhnya. Krisis listrik masih saja terjadi. Kecuali barangkali untuk wilayah Pulau Jawa dan Bali. Kalau di luar kedua pulau itu sungguh mengenaskan kondisinya.

Pengusaha real estate mengeluh, kompleks perumahan yang dibangunnya sangat susah dipasarkan lantaran begitu lamanya antrean permintaan pemasangan listrik baru. Pengusaha lainnya juga mencak-mencak karena suplai listrik mengganggu kenyamanan dalam berbisnis. Warga juga mengomel karena PLN sangat sering memadamkan aliran listrik ke rumahnya secara bergiliran. Yang paling kasihan itu bila lilin pengganti listrik sementara membuat rumah warga KEBAKARAN.

PLN berdalih selalu merugi karena kebijakan untuk menaikkan tarif listrik selalu ditentang masyarakat. PLN juga tak punya modal untuk alih teknologi pembangkit listrik yang lebih murah ongkos produksinya. Misalnya dari berbahan bakar minyak berpindah ke bahan bakar batubara.

Sementara ketika pihak swasta yang ingin membantu membangunkan pembangkit listrik malah dipersulit izinnya. Padahal niat pihak swasta sangat baik, mengubah kerugian menjadi sebuah keuntungan yang bisa diterima PLN. Karena harga yang ditawarkan lebih rendah dari tarif listrik sekarang.

***

Saya pernah diundang menghadiri jumpa pers PLN di sebuah rumah makan mewah. Jumpa pers itu bercerita tentang kerugian yang dialami PLN pada tahun itu. Jumpa pers ini tentu saja dilengkapi dengan angka-angka kerugian.

Namun anehnya hidangan yang disajikan untuk para wartawan begitu mewahnya. Makanannya macam-macam. Tinggal dipilih mau makan apa. Setahu saya per porsi makanan itu pastilah sangat mahal harganya.

Dalam jumpa pers itu pula pihak PLN tak menunjukkan tanda-tanda kesedihan. Suasana jumpa pers justru diselingi senyuman dan derai tawa. Seakan-akan PLN tidak mengalami kerugian.

Saya pun berbisik kepada rekan wartawan yang duduk di sebelah. “Lho, katanya rugi. Tapi, kok makanannya mewah sekali,” ucap saya sambil berbisik. “Sudah kau diam saja. Nikmati saja makanannya,” jawab rekan wartawan di sebelah.

Sudah semestinyalah pihak PLN mengubah perilakunya sebagai bentuk keprihatinan. Dari yang suka mewah-mewah beralih lebih sederhana. Jangan sampai muncul pandangan di masyarakat mengakunya selalu rugi tapi karyawannya kenapa kaya-kaya.

PLN jangan cuma piawai membikin slogan kepada masyarakat, “Hemat Energi Hemat Biaya”. PLN sendiri juga harus menerapkannya. Dengan diperketatnya pemborosan semoga saja PLN tak terlalu banyak menggerus uang subsidi pemerintah.

Rabu, 06 Agustus 2008

Kaji Ulang Pasar Bertingkat!



Kebijakan pemerintah meruntuhkan pasar kemudian menggantinya dengan bangunan yang baru kerap memunculkan kontroversi. Macam-macam bentuk kontroversinya. Salah satunya kontroversi yang biasa terjadi adalah pada saat menentukan di manakah letak kelompok-kelompok pedagang di bangunan baru nanti.

Masalahnya sangat terkait bentuk bangunan baru itu sendiri. Awalnya pasar itu cuma satu lantai. Pemerintah selanjutnya membangun gedung pasar itu menjadi bertingkat-tingkat. Tujuannya jelas, ingin meraih keuntungan berlipat ganda karena jumlah toko yang bisa dibangun akan lebih banyak.

Namun antar pedagang akan saling protes memperebutkan posisi kelompok tokonya nanti. Masing-masing kelompok itu sama-sama ingin diletakkan di lantai bawah. Tidak ada yang mau diletakkan di lantai atas. Di lantai atas itu dianggap kurang strategis mengingat orang enggan naik tangga. Capek.

Kelompok-kelompok pedagang sendiri bermacam-macam. Ada kelompok pedagang kelontongan. Ada kelompok pedagang konfeksi (pakaian jadi). Ada kelompok pedagang bahan bangunan. Ada juga kelompok pedagang sayur dan ikan. Juga ada kelompok-kelompok pedagang lainnya.

Kelompok favorit ibu-ibu rumah tangga tentu saja para pedagang sayur dan ikan. Hampir tiap hari tanpa absen kelompok ini selalu banyak pengunjung. Ibu-ibu rumah tangga mengunjunginya demi membeli beragam keperluan dapur untuk dimakan.

Tak heran kelompok pedagang sayur dan ikan ini kemudian biasanya diletakkan di lantai atas. Tujuannya agar para pedagang kelompok lain juga kecipratan rejeki. Dengan dikunjunginya pedagang sayur dan ikan tiap hari maka calon pembeli otomatis melewati dagangan kelompok lain. Walau itu hanya sekadar lewat, tapi sudah menghibur pedagang lain ketimbang tidak ada yang lewat sama sekali.

Tapi celakanya strategi penempatan kelompok pedagang sayur dan ikan di lantai atas ini tidak selamanya berhasil. Dari sejumlah pasar yang pernah saya kunjungi malah strategi itu gagal total. Pedagang sayur dan ikan di lantai atas itu justru banyak mengeluh. Jumlah pengunjungnya menurun drastis.

Kenapa bisa begitu? Sekali lagi pembeli itu malas naik tangga. Nah, ketika ada pedagang sayur dan ikan menjajakan dagangannya di lantai bawah otomatis mereka lebih memilih ke situ.

Bisakah pedagang di lantai atas itu protes? Tentu tidak bisa. Soalnya, pedagang sayur dan ikan pesainganya itu berdagang di luar area pasar. Jangankan menertibkan, menegur pun Petugas Satpol PP tak punya kewenangan. Soalnya mereka memilih berdagang di luar area meski posisinya sangat berdekatan dengan pasar tersebut.

Pedagang sayur dan ikan di lantai atas semakin merana lantaran pesaingnya di bawah itu berani banting harga. Ya, harga jauh lebih murah. Kenapa ini bisa terjadi?

Jangan berprasangka dulu pedagang sayur dan ikan yang di bawah itu yang jahat. Justru yang perlu dipahami adalah kenapa pedagang sayur dan ikan di lantai atas harganya jauh lebih mahal. Ini sangat wajar mengingat pedagang di lantai atas itu harus dibebani lagi dengan ongkos tebus tempatnya berdagang. Sementara pedagang ikan dan sayur di bawah cukup menggelar dagangannya di tanah tanpa dibebani biaya apa pun.

Dengan tulisan ini saya hanya berharap kepada pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakannya membangun pasar bertingkat. Kecuali di pasar itu disediakan escalator plus lift, baru saya setuju. Pembeli tidak capek naik tangga.

Lewat tulisan ini pula saya menanti pemerintah untuk mengkaji ulang penempatan pedagang ikan dan sayur itu di lantai atas. Berdasarkan pengalaman, bila diletakkan di lantai atas malah menimbulkan bau yang kurang sedap. Sebagus apapun pembuangan limbahnya tetap saja lama kelamaan menimbulkan bau. Lagipula membawa air ke lantai atas untuk membersihkannya itu membutuhkan tenaga dan airnya juga tidak didapatkan secara gratis.

Selasa, 05 Agustus 2008

Pungli Berkedok Kelebihan Tonase



Beberapa hari lalu ada tayangan menarik di televisi swasta di tanah air. Pertama, pemirsa disuguhi tayangan investigasi beragam pungli (pungutan liar, Red) yang terjadi di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta. Beberapa hari kemudian, di televisi swasta berbeda, juga ada rekaman pungli serupa tapi di lokasi berbeda, yakni di sepanjang pantura—mulai dari Jakarta hingga Surabaya.

Kupasan investigasi ini terbilang cukup berani. Tidak hanya peristiwa pungli saja yang direkam. Tapi sang reporter juga turun langsung menyapa si pelaku sambil menanyakan yang dilakukannya itu pungli atau tidak?

Nekatnya lagi, pelaku pungli yang diwawancarai secara langsung oleh reporter itu tidak hanya berprofesi sebagai preman. Namun juga dilakukan aparat berseragam. Korbannya para sopir truk atau pick up yang berseliweran mengangkut barang.

Para sopir terlihat tak berkutik. Terpaksa singgah sejenak. Tangannya keluar dari jendela mobil sambil menyerahkan selembar uang. Atau ada juga kernetnya yang turun untuk langsung menyerahkan. Atau ada juga yang melemparkan uangnya dan kemudian dipungut oleh si pelaku.

Khusus untuk pungli di sepanjang pantura justru TKP-nya terjadi di pos-pos jembatan timbang. Sebuah tempat yang semestinya melarang truk atau pick up kelebihan muatan untuk lewat. Namun anehnya truk atau pick up kelebihan muatan itu diperiksa pun tidak. Asalkan mengasih uang, silakan jalan. Diperkirakan dalam sehari uang pungli yang terkumpul di setiap pos itu mencapai Rp5 juta. Enak betul ya aparat berseragam mencari uang tambahan.

Saya jadi berpikir, peraturan pembatasan tonase muatan jalan raya itu dibikin untuk apa sih? Peraturan pembatasan tonase akhirnya terkesan jadi akal-akalan saja. Peraturan itu sengaja dibikin justru untuk dijadikan alat “melegalkan” pungli. Bayangkan sendiri, pos jembatan timbang yang didirikan dengan uang rakyat akhirnya malah dijadikan tempat berteduh paling nyaman untuk melakukan pungli.

Jauh sekali menyimpang fungsinya. Tujuan awal pendirian pos itu barangkali agar jalan tak cepat rusak. Tapi, saban tahun jalan-jalan utama tetap diperbaiki juga. Mau rusak atau kondisinya masih baik, toh tetap akan jadi proyek.

Mendingan begini, peraturan pembatasan tonase dihapuskan saja. Sebaliknya dibikin lagi aturan baru, proyek jalan harus tahan lama alias awet. Sudah ada kan’ contoh jalan beton yang kuatnya diacungi jempol. Jadi berapapun jumlah muatannya silakan jalan. Dengan begitu arus perpindahan barang dari kota yang satu ke kota lain tidak dibebani lagi ongkos pungli.

Minggu, 03 Agustus 2008

Tingkatkan Peredaran Uang Kota Anda!




Saya dua tahun lalu pernah dapat tugas bekerja di Sampit, kota kecil di pedalaman Kalimantan Tengah. Waktunya memang tidak lama. Cuma 4 bulan. Tapi waktu segitu sangatlah cukup mengenal seluk-beluknya.

Yup, kota ini paling berkesan adalah soal sepinya. Sampit tergolong kota lambat bangkit setelah didera konflik antar etnis yang teramat sadis. Apalagi semenjak bisnis illegal logging ditertibkan aparat, perekonomian kota itu sangatlah lesu.

Memasuki malam hari, kota semakin terasa sepi. Apalagi kalau sudah jam 9 malam ke atas. Jika saat itu Anda pas kelaparan, sangatlah susah mencari tempat makan. Warung-warung terlihat serempak pada tutup semua.

Yang berseliweran di jalan pun bisa dihitung dengan jari. Jangankan taksi, ojeknya pun tak ada yang lewat. Penduduk lebih memilih berdiam diri di rumah sambil dengar radio, nonton televisi, atau tidur.

***

Mengenang kota Sampit, saya teringat istilah roda ekonomi. Istilah itu acapkali kita dengar. Tapi lumayan sulit digambarkan seperti apa wujudnya. Ada yang menggambarkan roda ekonomi ibarat sebuah penentuan nasib seseorang—kadang berada di atas dan kadang pula tergencet di bawah.

Namun saya lebih tertarik mengistilahkan roda ekonomi itu sebagai laju peredaran uang di masyarakat. Ya, sebuah kota baru bisa disebut perekonomiannya membaik jika peredaran uang di masyarakatnya berjalan lancar. Semakin cepat peredaran uang masyarakat maka akan semakin baik.

Maksudnya apa sih? Simpelnya begini. Bandingkan saja, kenapa peredaran uang masyarakat di kota besar itu lebih lama waktunya dibanding kota kecil. Ini terkait pola hidup masyarakatnya.

Di kota besar itu perekonomiannya tak pernah mati. Bahkan bisa dibilang selalu berjalan dalam tempo 24 jam sehari. Toko-toko di kota besar juga masih buka pada malam hari. Cari makan pada dini hari pun gampang sekali. Itu belum termasuk bisnis hiburan malam yang ada di sana-sini. Otomatis siang maupun malam pun uang masyarakat selalu beredar.

Sampit barangkali tidak hanya satu-satunya kota kecil yang ada di tanah air. Masih banyak lagi yang tak terhitung dengan jari. Bagaimana caranya agar kota kecil itu bisa bangkit?

Ini tugas pemerintah setempat untuk menciptakan pusat-pusat bisnis pada malam hari. Tidak mesti bisnis hiburan malam saja. Masih banyak bisnis-bisnis lain yang bisa digali. Contohnya, Kya-Kya Kembang Jepun Surabaya, Malioboro Yogakarta, dan lain-lain.

Satu hal paling diperhatikan untuk membangun bisnis pada malam hari adalah faktor keamanan. Faktor ini wajib diperhatikan. Mana ada warga yang mau keluar rumah pada malam hari kalau di sana sini banyak penjahat. Mana ada warga yang berani lewat jika banyak pemabuk di jalanan. Mana bisa tentram pedagang berusaha bila banyak orang yang minta “jatah” preman.

Pemerintah dan kepolisian setempat harus bekerjasama menciptakan keamanannya. Tidak usah ragu mengusir preman yang mengganggu roda perekonomian. Bila premannya bandel setujukah Anda dibinasakan saja?

Jumat, 01 Agustus 2008

Pedagang Makin Merana




Untuk bisa terpilih jadi kepala daerah macam walikota maupun bupati pastilah sangat besar ongkosnya. Tidak mungkin hanya modal dengkul saja. Meski ada pihak ketiga membantu, tapi biasanya tidak akan pernah seratus persen. Yang bersangkutan juga pasti malu kalau orang lain terus membayar kampanyenya. Jadi ya harus tetap keluar duit juga.

Adakah cara untuk mengembalikan ongkos yang telah dikeluarkan? Seorang Pak Tua dalam sebuah obrolan tak formal pernah bercerita kepadaku. Ada lho cara gampang mengembalikannya. “Utak-atik saja pasar”.

Yup, pasar di sini memang pasar betulan. Pasar yang merupakan kumpulan toko, kios, bak, dan sebagainya. Pasar yang menjual macam-macam barang, mulai dari pedagang kelontongan hingga menjual lontong beneran.

Lantas darimana uangnya bisa dihasilkan? Tentu lewat kebijakan. Pasar yang ada di wilayahnya diruntuhkan dan diganti dengan bangunan baru. Kok diruntuhkan? Ya, cara itu paling efektif menghasilkan uang.

Awalnya, pedagang pasti akan menolak kebijakan itu. Tapi itu tidak masalah. Pedagang itu pasti punya perkumpulan. Nah, tinggal ketuanya saja yang “dikuasai “, pasti beres deh masalahnya.

Dengan cara diruntuhkan, kepala daerah dan jajarannya akan lebih gampang mengatur ulang posisi pasar. Toko punya pedagang yang dulu ukurannya besar-besar sekarang disempitkan. Dengan mengecilnya luas toko, otomatis memberikan ruang untuk menambah jumlah “toko siluman”.

Tambahan “toko siluman” ini biasanya sangat mudah “dipermainkan”. Statusnya tiba-tiba berubah jadi milik istri, anak, maupun kerabat para pejabat. Supaya adil, pihak legislative juga turut kebagian. Hebatnya lagi, posisi toko-toko siluman “jatah” para pejabat itu letaknya sangat strategis di dalam pasar. Supaya lekas laku pas dijual nanti.

Pedagang penghuni awal di pasar tersebut biasanya hanya bisa gigit jari. Sudah tokonya menyempit, eh posisinya ditempatkan tak strategis pula. Berada di lorong-lorong yang jarang dilewati pengunjung pasar. Kalau mereka mau pindah ke posisi strategis, tentu harus membayar kepada penerima toko siluman dengan harga lebih tinggi.

Para pedagang semakin merana. Usahanya untuk mendapatkan kembali tempat dagangannya yang tak strategis itu pun tidaklah gratis. Semua harus bayar. Bahkan angka cicilannya juga berlipat ganda. Soalnya, lewat cicilan itulah para pedagang secara tak sadar “urunan” menanggung seluruh biaya pembangunan pasar. Tentu saja termasuk toko “jatah” para pejabat di dalamnya.

Para pedagang pun makin “diperas” lantaran tokonya itu tak bisa dimiliki selamanya. Pedagang hanya punya hak guna usaha, bukan hak milik. Dalam jangka waktu tertentu, atau sewaktu-waktu, haknya itu bisa hilang begitu saja jika kepala daerah periode berikutnya kembali meruntuhkan dan membangun pasar baru. Atau kalau cara ini tak berlaku, sering pula digantikan peristiwa musibah “KEBAKARAN”.

Musibah seperti seakan terus terulang. Akibatnya tidak sedikit pedagang yang gulung tikar. Namun ada pula pedagang yang tidak kapok alias jera. Terpaksa tetap terus berdagang, karena hanya inilah pilihan hidup. Kalau tak begitu, mau dinafkahi apa anak istrinya.

Kamis, 31 Juli 2008

Panggar Sialan!




Apakah semua wakil rakyat dilibatkan dalam pembahasan RAPBD atau RAPBN? Idealnya memang demikian. Rugi dong jadi wakil rakyat kalau tak ikut membahas buku yang teramat penting ini. Yup, dari lembaran demi lembaran buku itulah ditentukan nasib uang rakyat akan digunakan untuk apa nantinya. Mau dibikin proyek jalan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.

Pada kenyataannya tidak semua wakil rakyat bisa terlibat pembahasan RAPBD atau RAPBN. Kenapa begitu? Wakil rakyat memang masih boleh ikut rapat paripurna dengan pakaian safari untuk rame-rame menyebut SETUJU. Tapi sebelumnya, pada saat buku itu dibahas untuk dicorat-coret dengan pihak eksekutif ternyata tidak semua diperbolehkan ikut.

Entah kapan aturan ini persisnya mulai berlaku. Yang jelas wakil rakyat itu kini mereka telah dikotak-kotakkan. Pernah dengar istilah panggar dan panmus? Tidak semua wakil rakyat bisa masuk jadi anggota panggar (Panitia Anggaran). Tidak semua pula wakil rakyat bisa masuk anggota panmus (Panitia Musyawarah). Bahkan ada wakil rakyat yang tidak masuk kedua-duanya, baik sebagai anggota panggar maupun panmus. Yang tidak bisa ikut ini biasanya kalah suara di dalam fraksinya. Sekali lagi, teman satu fraksi pun kadang tak segan-segan mempolitikin sesamanya.

Saya hanya bisa menebak aturan panggar barangkali ini hanya strategi dari pihak eksekutif agar proses pembahasan RAPBD dan RAPBN itu berjalan dengan mulus. Semakin sedikit wakil rakyat diikutkan ke dalam panitia anggaran, semakin kecil pula “power” wakil rakyat untuk menolak anggaran yang diajukan. Kalau mau lebih ekstrim lagi pendapatnya; semakin sedikit wakil rakyat yang “bandel” dalam pembahasan, semakin kecil pula “ongkos” untuk menyogoknya.

Harus diakui pihak eksekutif itu memang ahli strategi. Contohnya pada saat menyerahkan berkas RAPBD itu ke gedung wakil rakyat. Biasanya penyerahan sengaja dimolor-molorkan waktunya. Dengan harapan waktu pembahasan dengan pihak dewan nanti sangat mepet.

Apalagi yang namanya buku RAPBD atau RAPBN itu tebalnya bukan main. Isinya angka-angka semua. Susunan angka nominalnya juga panjang. Angka miliar itu sampe 12 digit. Kalau wakil rakyat keahliannya hanya bisa menghitung satu dua ekor saja pasti terperangah ketika menyaksikan begitu banyaknya angka. Makanya, wakil rakyat itu saya sarankan belajar juga akuntansi biar tak kaget menghadapi angka-angka.

Mepetnya waktu, membuat pembahasan pun sering dikebut pelaksanaannya. Bahkan dilakukan hingga dini hari selama beberapa hari berturut-turut.

Pada pagi hari, barangkali wakil rakyat masih segar kondisinya. Tapi menjelang malam hari semuanya pada capek. Di saat kondisi kelelahan inilah “proyek-proyek siluman” biasanya dibahas. Dengan harapan para wakil rakyat lengah dan tidak terlalu bergairah untuk memprotes. Semua ingin cepat pulang menghilangkan kepenatan. Belum lagi ditambah tugas tambahan membikin pidato persetujuan fraksi untuk rapat paripurna nanti.

Intinya, wakil rakyat itu memang tidak semua bisa diandalkan mengkritisi RAPBD maupun APBN. Kalah strategi melulu sama pihak eksekutif. CPD (capek deh…)

Rabu, 30 Juli 2008

Bikin Blog Baru




Empat hari lalu, di Yahoo Messenger punyaku ada yang nongol. Seseorang dari Palembang berkomentar. “Mas, blognya kok nggak ada iklannya. Sayang tuh,” tulisnya dalam yahoo messenger. “Padahal lumayan, bisa nambah penghasilan,” sambungnya.

Seseorang dari Palembang ini mengembalikan memoriku empat tahun silam. Waktu itu saya dapat tugas dari kantor meliput PON XVI di Sumsel. Berkenalanlah dengan si dia. Kalau nggak salah namanya Yunus. Cowok yang satu ini adalah pengelola warnet persis di dekat hotelku menginap. Sayang saya sudah tak ingat lagi apa nama hotel dan warnetnya.

Yang jelas Yunus ini kunilai sangatlah baik. Dipuji begitu karena dulu Yunus mau saja bela-belain membukakan pintu warnetnya untukku yang mau mengirim hasil liputan. Tidak cuma terjadi semalam saja, tapi saban malam selama dua pekan berturut-turut. Padahal warnetnya itu sudah ditutup lebih dini. Pintu masuk untukku pun sengaja tidak dibuka lebar. Hanya cukup untuk lewat satu orang saja. Ini dimaklumi mengingat kota Palembang tingkat kriminalitasnya sangat rawan. Apalagi pada tengah malam.

Walau sudah lama tak berjumpa, namun ada saja sesekali si Yunus say hello lewat dunia maya. Nah, sejak empat hari komunikasi lewat Yahoo Messenger lebih sering dilakukan. Yunus mengenalkanku program Google AdSense. Sebuah mesin pencari paling terkenal di dunia yang menawarkan iklan kepada pemilik situs, termasuk blog. “Lumayan Mas. Saya sekarang dikirimin cek $300 (sekitar Rp3 juta, Red) tiap bulan. Sekarang malah mau ditingkatkan angka ceknya jadi $1.500,” kisahnya.

Wew… menggiurkan sekali. Sekaligus pula bikin saya penasaran. Saya barangkali sangat telat mengetahui hal ini. Apalagi Anda yang mungkin saja malah baru membacanya.

Yunus dasar memang baik orangnya. Yunus malah menawarkan diri membantu segala-galanya. Mulai dari membikinkan ID berbasis gmail. Memberikan beragam petunjuk cara masuk program Google AdSense. Hingga mengenalkan si Cosaandra, manusia Indonesia paling sukses meraih pundi-pundi dollar tiap bulan. Semua petunjuk disampaikan jarak jauh sambil chatting ria di tengah malam.

Berhubung sekarang menggunakan ID berbasis gmail, akhirnya saya memutuskan membikin blog baru. Blog sebelumnya masih menggunakan ID berbasis yahoo. Ini dikhawatirkan akan mengganggu proses pembayaran kelak.

Apa nama blog barunya? www.gampang-diingat.blogspot.com. Dengan di-launching-nya blog ini otomatis blog sebelumnya, www.silakan-coba.blogspot.com sudah tak berlaku lagi.

Posting kali ini merupakan posting terakhir di www.silakan-coba.blogspot.com. Anggap saja sebagai pengumuman. Semua isi blog sebelumnya telah dipindahkan ke blog baru, www.gampang-diingat.blogspot.com. Bagi yang berminat silakan berkunjung. Yah, untung saja blognya masih sedikit isinya. Seandainya sudah banyak, pasti capek juga memindahkannya ke blog yang baru.

Sekarang tampilan blognya bisa dilihat tambah rame. Penuh warna-warni dengan bertambahnya iklan. Terus terang keberadaan iklan ini tujuan utamanya bukan untuk mencari penghasilan tambahan. Soalnya urusan rejeki itu sudah ada yang mengatur di atas sana. Tujuan utamanya hanya untuk nambah ilmu. Hanya itu. Tidak disangka setelah beberapa hari baru bikin blog, ilmunya terus dan terus bertambah. Thank’s to Yunus di Palembang sana!

Selasa, 29 Juli 2008

Komisi Pemecahbelah Suara




Apa jadinya ketika orang awam terpilih jadi wakil rakyat? Pasti awalnya bingung. Kok banyak betul ya aturannya.

Jadi wakil rakyat itu ternyata juga tak bisa menyuarakan apa saja. Soalnya, suara wakil rakyat “dipecahbelah” ke dalam komisi-komisi. Wakil rakyat sejak awal dihadapkan pada pilihan mau ikut komisi mana? Ada komisi yang menangani bidang hukum dan pemerintahan. Ada komisi yang fokus di bidang pendidikan dan agama. Bahkan ada juga komisi yang khusus menangani bidang pembangunan. Pokoknya macam-macam komisinya, tergantung daerah masing-masing.

Jangan coba-coba berbicara di luar bidang komisinya. Pasti ada yang teriak, “hoy…, jangan ikut campur komisi orang lain. Urusi saja bidang komisiMu sendiri”. Yeah, entah siapa yang bikin aturan seperti itu. Seakan-akan sudah tercipta aturan tak tertulis, anggota komisi lain akan segera tersinggung bila urusan komisinya dicampuri.

Memilih komisi mana yang cocok juga tidak sembarangan. Sebab ada komisi di bidang tertentu yang jadi rebutan banyak wakil rakyat. Sampai-sampai kemudian muncul istilah “komisi basah” dan “komisi kering”.

Komisi basah biasanya berurusan dengan proyek-proyek pembangunan. Anggota komisi ini biasanya berperilaku sangat suka mencari-cari kesalahan proyek pemerintah. Semakin besar proyek yang diselewengkan pemerintah, semakin suka pula wakil rakyat di komisi itu.

Suaranya wakil rakyat di komisi basah ini diupayakan dikenceng-kencengin untuk mencuri perhatian. Dengan harapan pas kasus penyelewengan itu hendak diselesaikan secara “damai” yang bersangkutan akan mendapatkan imbalan gede. Kira-kira masih adakah wakil rakyat yang suka begini? Silakan dijawab sendiri.

Sementara itu komisi kering sebaliknya. Kebanyakan anggota komisi ini diisi “orang-orang buangan”. Mereka ini orang-orang yang kalah suara di fraksinya. Yup, namanya juga politik. Teman sesama satu fraksi pun kadang tak segan-segan untuk dipolitikin.

Para wakil rakyat biasanya bikin kesepakatan. Terutama untuk mengatasi ketidakadilan pembagian jatah masuk komisi ini. Tiap tahun polanya dibikin gantian. Tahun ini di Komisi A, tahun depan bisa pindah ke Komisi B, dan seterusnya.

Tapi persoalannya jumlah komisi itu beragam jumlahnya. Ada juga yang lebih dari lima komisi. Sementara waktu seseorang jadi wakil rakyat itu hanya lima tahun. Artinya ada komisi yang tidak sempat dimasuki selama menjadi wakil rakyat.

Otomatis, sekali lagi, wakil rakyat memang tidak bisa bersuara di semua bidang. Kecuali yang bersangkutan terpilih lagi pada periode berikutnya. Apa iya terpilih lagi…

Bolehkah Ulama Jadi Wakil Rakyat?




Harus diakui, ulama itu public figure. Pengikutnya banyak. Kalau ikut pemilu juga lebih gampang terpilih ketimbang rakyat biasa.

Cukup banyak parpol di tanah air mengusung agama sebagai simbolnya. Tak usahlah disebut nama parpol-parpol itu. Yang jelas simbol agama punya basis massa begitu menjanjikan bagi parpol. Satu pesantren saja tinggal dihitung berapa santrinya. Belum lagi dikalikan dengan jumlah para alumninya. Keterikatan emosional mereka untuk memberikan suara tentu begitu kuat.

Tak heran, parpol yang tak beraliran agama pun tak mau ketinggalan melibatkan ulama. Walau sang ulama pada saat kampanye tugasnya hanyalah sebagai tukang baca doa. Atau kalau toh masuk kepengurusan, namanya cuma diletakkan sebagai Pembina saja. Biar kesan parpol bersangkutan tidak dicap sebagai kumpulan manusia terbejat sedunia.

Begitu pula ketika calon bupati, gubernur, atau yang lebih tinggi ingin ikut pilkada. Para kandidat berlomba-lomba mendapatkan restu dari ulama. Semakin banyak ulama yang merestuinya, semakin berbanggalah dia. Tidak segan-segan kemudian “meminta” diterbitkan di media dengan judul; calon bupati si anu didukung sekian ulama.

Padahal belum tentu si ulama itu merestui satu calon saja. Bisa saja ada dua, kemudian tiga, atau semua calon direstuinya. Asalkan syaratnya datang langsung bersilaturahmi ke tempat tinggalnya. Nah, lho!

Lantas bolehkan ulama jadi wakil rakyat duduk di dewan? Tidak ada yang melarang. Silakan saja.

Asalkan fungsi si ulama saat jadi wakil rakyat nanti tak hanya jadi tukang baca doa saja. Ini bukanlah guyonan. Tapi, memang sudah jadi kenyataan. Walau tidak semua ulama yang jadi wakil rakyat begitu. Sebutlah…, oknum ulama saja.

Si oknum ulama ini setiap kali rapat intern di dewan maupun dengan pihak eksekutif kerjanya hanya diam saja. Cuma sebagai pendengar yang baik. Menjelang acara selesai, alias pas mau makan-makan, barulah namanya dipanggil untuk jadi pembaca doa.

Sungguh rugi rasanya punya wakil rakyat seperti ini. Mendingan jatahnya sebagai wakil rakyat itu dikasihkan ke orang lain saja. Mengingat masih banyak orang lain yang ingin jadi wakil rakyat. Cuma nasibnya saja yang apes, selalu kalah suara. Tapi, bisa jadi yang kalah suara ini sebenarnya lebih produktif.

Kalau toh misalnya tak mau juga mengasihkan jatahnya ke orang lain, tolonglah aktif bersuara. Kalau bingung apa yang hendak disuarakan, makanya nonton televisi dan baca koran tiap hari. Rajin-rajinlah pula turun ke lapangan memantau apa yang sedang terjadi di masyarakat. Biar wawasannya bertambah dan punya bahan untuk dibicarakan.

Selain itu, sebaiknya perkaya juga pengetahuannya dengan ilmu umum. Bisa di bidang hukum, ekonomi, akuntansi, hingga pemerintahan. Biar tak asbun (asal bunyi) saat bertemu pihak eksekutif. Selamat mencoba Ulamaku!

Mau Jadi Presiden?




Kapan presiden Indonesia itu bisa dicalonkan secara perseorangan? Apakah nanti bisa mengikuti jejak revisi UU 32/2004 yang kini membolehkan kepala daerah diajukan secara perseorangan? Barangkali hingga kini sangat sulit menjawabnya. Atau, jawabannya memang sengaja “dipersulit”.

Yeah, gambarannya itu bisa didapat takkala DPD (Dewan Perwakilan Daerah) beberapa waktu lalu secara resmi mengusulkan kebijakan itu ke DPR RI. Sejumlah oknum wakil rakyat secara terang-terangan menolaknya. Wakil rakyat di sana beranggapan parpol merupakan satu-satunya pihak yang punya hak eksklusif mengusulkan calon presiden.

Alasan yang dikemukakan wakil rakyat di gedung bundar sangat klasik. Katanya, “konstitusi telah mengatur hal ini”. Apakah konstitusi tidak bisa direvisi? Anda barangkali lebih ahli untuk menjawabnya.

Ketimbang repot-repot menjawabnya, bagaimana kalau saya ajak Anda sebentar termenung membayangkan apa kira-kira yang dilakukan calon presiden perorangan untuk memenangkan pemilu? Ini tentu lebih menarik. Maklum tantangannya pasti sangatlah berat.

Calon presiden yang diusung parpol boleh dibilang lebih diuntungkan. Mengingat mereka punya cabang hingga ke pelosok-pelosok. Sementara calon presiden perseorangan paling-paling terkenal di Jakarta atau paling banter di daerah asalnya.

Bukan berarti calon presiden perseorangan itu mustahil menang. Dana yang dikeluarkan sudah pasti besar. Tapi peluang tetap terbuka, asal tahu caranya. Tentu dihindari pemborosan pengeluaran yang berlebihan.

Kalau tak mau boros gandeng saja pihak media. Tentu bukan media nasional saja. Lebih cenderung melibatkan media lokal.

Apalagi sekarang media lokal yang profesional itu punya divisi Event Organizer. Jadi kerjasama saja dengan mereka. Daripada repot-repot membikin tim sukses di tiap kota. Lagipula sekarang itu bukan zamannya lagi kampanye harus digeber di sebuah panggung besar dengan menyewa artis sebagai penghibur. Harus dicari bentuk kampanye yang efektif dan dahysat.

Misalnya, saat yang bersangkutan hendak mencalonkan diri. Biasanya yang bersangkutan diminta mengumpulkan dukungan berupa KTP dan tanda tangan. Nah, menggelar acara pengumpulan ini gunakan saja jasa Event Organizer milik media lokal.

Pengumpulan KTP dan tanda tangan itu sebaiknya digelar secara terbuka dan transparan. Supaya yang hendak dicalonkan bisa mengukur dirinya itu memang didukung rakyat atau tidak. Kalau memang didukung, lanjutkan. Kalau ternyata tidak, perlu dipikir ulang sudah siapkah kehilangan duit lebih banyak lagi?

Biar mendapat dukungan besar, si calon perseorangan sebaiknya punya kelebihan lain dibanding calon yang diusung parpol. Misalnya, si calon perseorangan harus berani mengumumkan kabinetnya sejak jauh-jauh hari. Otomatis sebelum pemilu, rakyat sudah bisa mengetahui calon-calon menteri mendatang.

Calon menteri yang diumumkan sebaiknya lebih independen sehingga lebih mudah diterima “pasar suara”. Inilah yang membedakan dengan calon presiden yang diusung parpol. Mereka cenderung tidak berani mengumumkannya sejak jauh-jauh hari. Berdasarkan pengalaman, ini dikarenakan terlalu banyak “pesanan” dan kompromi dengan parpol lain.

Si calon perseorangan sebaiknya juga tahu apa yang dilakukan setelah terpilih nanti. Penyampaian visi dan misinya tidak lagi hanya omong kosong saja. Misalnya, menebarkan janji akan membuka seluas-luasnya lapangan kerja. Janji seperti ini sudah tidak laku lagi. Rakyat butuh program kongkritnya. Sebaiknya dijelaskan secara detail bagaimana tahapan-tahapannya! Rakyat otomatis bisa menilai solusi yang diajukan apakah memang layak untuk membuka lapangan kerja seluas-luasnya atau tidak.

Si calon perseorangan sebaiknya juga punya catatan peraturan apa saja yang hendak dibikinnya setelah terpilih nanti. Termasuk pula peraturan-peraturan apa saja yang hendak direvisinya. Tunjukkan kepada masyarakat catatan-catatan itu. Dukungan rakyat pasti membesar kalau mengetahui pasal-pasal yang merugikan rakyat selama ini akan dihapuskan.

Catatan ini bisa disampaikan sejak jauh-jauh hari lewat media local secara continue. Bisa saja berbentuk berita advertorial bersambung. Nah, ketika hendak mengumpulkan KTP dan tanda tangan bisa sekalian ditutup dengan diskusi di tiap kota. Pada akhirnya kerjasama dengan Event Organizer lokal itu memang harus satu paket. Kalau perlu disediakan mesin photocopy gratis, supaya setelah diskusi digelar peserta bisa langsung menyerahkan KTP-nya.

Sekarang tertarikkah Anda menjadi calon presiden perorangan? Sebaiknya memang dilihat dulu isi kantong Anda!

Lengkapi Website Parpol Anda!




Teknologi internet memudahkan siapa pun untuk mempromosikan sesuatu. Tak heran parpol pun kini ikut memanfaatkan internet. Tentu saja untuk mengkampanyekan dirinya lewat dunia maya.

Namun isi website yang disajikan pada umumnya masih seputar visi dan misi, struktur kepengurusan, hingga berita-berita mengenai kegiatan parpolnya. Bagi saya pribadi ini masih belum memuaskan. Saya ingin lebih dari itu.

Bukannya hendak memaksa. Cuma kadang gregetan saja dengan website milik pemerintah daerah. Informasi yang diberikan begitu sekilas dan sangat tidak lengkap. Ditambah lagi, data yang disajikan sudah usang pula. Padahal dana untuk membuat website pemerintah daerah itu selalu dianggarkan gede. Sungguh tak sebanding dengan hasilnya.

Saya pribadi berharap sekali website milik parpol jadi tandingan. Kalau kebetulan ada anggota parpol yang tak sengaja membaca tulisan ini, evaluasi sajalah webite milik parpol Anda. Tanyakan dalam benak Anda, informasi apa kira-kira yang sangat dibutuhkan pembaca.

Sebagai contoh sederhana, mengenai perda. Website pemerintah daerah bisa dibilang sangat langka memuat perda-perda miliknya secara detail. Jangankan masyarakat membacanya, untuk mencari perdanya saja susahnya minta ampun. Padahal perda itu idealnya diketahui seluruh masyarakat. Bukan untuk dipajang, atau hanya boleh diketahui sekelompok orang saja.

Yeah, sewaktu raperda itu diparipurnakan di dewan memang sih biasanya diliput oleh media. Namun informasi yang diterbitkan besoknya hanya sekilas. Paling menceritakan tentang gambaran umum perdanya saja. Tidak membahas pasal demi pasal secara detail. Itu bisa dimaklumi mengingat media juga punya keterbatasan halaman.

Tapi, janganlah pula pemerintah daerah berdalih sudah maksimal memberikan sosialiasi. Misalnya mengatakan sebelum raperda itu diajukan, sebelumnya kan’ lebih dulu diadakan lokakarya. Kalo dalihnya begitu kan mudah sekali dipatahkan. Berapa orang sih yang ikut lokakarya itu? Sedikit sekali bukan! Tentu tidak sebanding kan dengan jumlah warga kota. Makanya jangan heran kalau masyarakat awam banyak yang tak tahu ada aturan, terutama dari perda baru.

Di gedung dewan memang sih ada perpustakaan. Masyarakat masih bisa membacanya di sana. Sayangnya perpustakaan di dewan itu juga tidak lengkap. Paling-paling yang ada perda-perda baru saja. Perda yang lama sudah tak diketahui lagi rimbanya. Di sisi lain, kalau ingin membacanya di sana juga
sering terkendala waktunya yang sangat sempit. Kalau toh ingin membawa pulang untuk membaca di rumah, prosedurnya juga begitu bertele-tele. Sampe ditanya segala, “sampeyan keperluannya apa jadi minjam perda ini”. Duh, repotnya.

So, kalau boleh usul bagi pengelola website parpol sudah saatnya memuat perda-perda itu. Terserah caranya gimana. Entah diketik sendiri atau copy paste saja dari Biro Hukum pemerintah daerah setempat. Itupun kalo Biro Hukumnya punya sistem pengarsipan yang rapi dan juga mau memberikan datanya. Kalau tak mau, suruh saja wakil parpol Anda di kursi dewan untuk mendesak memberikannya.

Tentu senang sekali bukan jika website parpol Anda dijadikan referensi oleh warga yang ingin mencari perda terlengkap. Soalnya, sedikit banyaknya website parpol Anda dibaca orang. Makanya sejak sekaranglah siap-siap berkeringat untuk melakukannya!

Duh, banyak betul Parpolnya!





Beberapa hari lalu, di sebuah televisi swasta, ada tayangan menarik. Seusai diumumkan oleh KPU, masyarakat diminta komentarnya, mau memilih partai baru atau partai lama? Jawabannya tentu sangat beragam. Yang memilih partai lama beralasan; tidak kenal tuh siapa sih penghuni pengurus partai baru itu, dan apa pula maunya dalam pemilu mendatang. Sementara yang memilih partai baru beralasan sudah kenal seluk beluk partai lama, jadi menginginkan adanya perubahan.

Bisa dibilang alasan yang diucapkan masing-masing kubu ada betulnya. Itu kalo melihat realita yang terjadi di lapangan. Penghuni partai baru kalo ditengok kok kayaknya mirip orang-orang partai lama juga? Dugaan sementara sih mereka itu orang-orang yang tak kuat bersaing di partai lama. Kemudian memilih mendirikan partai baru agar aksesnya mendapatkan kekuasaan lebih instan. Yeah, daripada terlalu lama menunggu pengurus senior partai lama “meninggal” dulu, kan panjang betul antrean untuk menggantinya.

Kalo memilih partai lama juga harus siap geleng-geleng kepala. Itu jika menengok dari sudut pandang produk yang dihasilkan partai-partai lama di gedung dewan hingga saat ini. Para wakil rakyat yang ada sekarang sih bisa dibilang jago ngomong. Tapi, untuk urusan setuju dan tidak setuju saja.

Sangat langka ditemui ada anggota dewan yang berjuang dari awal sampai kemudian berhasil menggolkan sebuah produk. Tentu produk yang dimaksud di sini adalah produk perundang-undangan. Padahal wakil rakyat itu punya hak inisiatif. Namun rata-rata hak inisiatif itu tak pernah digunakan. Justru hak inisiatif selalu datangnya dari pihak eksekutif saja. Wakil rakyat lebih sering tugasnya cuma tinggal coret sana dan coret sini dengan diakhiri dengan kata SETUJU.

Menggunakan hak inisiatif memang tidaklah mudah. Dituntut peran parpol yang sangat besar. Misalnya, mengadakan pelatihan membuat perundang-undangan untuk calon wakil rakyat yang hendak duduk di dewan. Tentu harus mengundang para pakar yang ahli di bidangnya dan independen. Bila ada yang tidak lulus pelatihan dan tak mendapat sertifikat, dilarang saja ikut pencalonan. Otomatis kualitas calon wakil rakyat yang diajukan lebih mumpuni.

Kemudian parpol sebaiknya juga aktif membikin rancangan perundang-perundangan. Tentu rancangan perundang-undangan yang diusulkan sifatnya bukan copy paste saja. Ah, jadi ingat studi banding yang kerap dilakukan anggota dewan. Paling banter saat hendak pulang minta oleh-oleh perundang-undangan dari kota yang jadi tempat studi banding. Selebihnya basa-basi dan jalan-jalan saja. Padahal kalo mau minta contoh perundang-undangan dari kota lain tak perlu datang ke sana. Parpol itu kan punya cabang di mana-mana. Jadi tinggal minta dikirimi saja sama temannya dari kota lain.

Intinya kalau parpol aktif membikin sendiri rancangan perundang-undangan tentu lebih mudah memperjuangkannya di dewan. Kalau perjuangannya diekspos media kan’ sungguh cantik peran parpol dinilai oleh masyarakat. Jadi kesannya parpol itu tak ramenya saat kampanye pemilu saja.

Adakah diantara 34 parpol yang diumumkan KPU baru-baru tadi punya sistem seperti ini? Kalau ada, saya sendiri ikhlas siap memilihnya. Kalau belum ada, silakan pula Anda golput atau tidak datang ke TPS nanti. Tapi atas keinginan pribadi, bukan saya yang menyuruh!

Welcome

Welcome to www.gampang-diingat.blogspots.com

This blog is created by Eddy Hardiyanto. The writer is a journalist from Banjarmasin, Southern Kalimantan, Indonesia. He works as a sport page editor in Radar Banjarmasin daily newspaper.

This blog is written in Indonesian language. It considers the large amount of Indonesian people. Indonesia is the fourth largest amount of the people in the world after China, India and the United States. It is about 228 million people.

The internet user in Indonesia is increasing year by year. Even, the internet cafes are spreading everywhere. No doubt there also more people create blogs in Indonesian language.

The blog is planned to contain about various aspects of life in Indonesia. From politic, economy, law, education, technology, human interest, humor, sport, etc. The writings are based on the observations and experiences during being a journalist. The writer also tries to give solution from the problem of discussed writing themes in this blog.

Please enjoy this blog. You may give comments if it is necessary as long as the comment is in polite and good manner.