Jumat, 01 Agustus 2008

Pedagang Makin Merana




Untuk bisa terpilih jadi kepala daerah macam walikota maupun bupati pastilah sangat besar ongkosnya. Tidak mungkin hanya modal dengkul saja. Meski ada pihak ketiga membantu, tapi biasanya tidak akan pernah seratus persen. Yang bersangkutan juga pasti malu kalau orang lain terus membayar kampanyenya. Jadi ya harus tetap keluar duit juga.

Adakah cara untuk mengembalikan ongkos yang telah dikeluarkan? Seorang Pak Tua dalam sebuah obrolan tak formal pernah bercerita kepadaku. Ada lho cara gampang mengembalikannya. “Utak-atik saja pasar”.

Yup, pasar di sini memang pasar betulan. Pasar yang merupakan kumpulan toko, kios, bak, dan sebagainya. Pasar yang menjual macam-macam barang, mulai dari pedagang kelontongan hingga menjual lontong beneran.

Lantas darimana uangnya bisa dihasilkan? Tentu lewat kebijakan. Pasar yang ada di wilayahnya diruntuhkan dan diganti dengan bangunan baru. Kok diruntuhkan? Ya, cara itu paling efektif menghasilkan uang.

Awalnya, pedagang pasti akan menolak kebijakan itu. Tapi itu tidak masalah. Pedagang itu pasti punya perkumpulan. Nah, tinggal ketuanya saja yang “dikuasai “, pasti beres deh masalahnya.

Dengan cara diruntuhkan, kepala daerah dan jajarannya akan lebih gampang mengatur ulang posisi pasar. Toko punya pedagang yang dulu ukurannya besar-besar sekarang disempitkan. Dengan mengecilnya luas toko, otomatis memberikan ruang untuk menambah jumlah “toko siluman”.

Tambahan “toko siluman” ini biasanya sangat mudah “dipermainkan”. Statusnya tiba-tiba berubah jadi milik istri, anak, maupun kerabat para pejabat. Supaya adil, pihak legislative juga turut kebagian. Hebatnya lagi, posisi toko-toko siluman “jatah” para pejabat itu letaknya sangat strategis di dalam pasar. Supaya lekas laku pas dijual nanti.

Pedagang penghuni awal di pasar tersebut biasanya hanya bisa gigit jari. Sudah tokonya menyempit, eh posisinya ditempatkan tak strategis pula. Berada di lorong-lorong yang jarang dilewati pengunjung pasar. Kalau mereka mau pindah ke posisi strategis, tentu harus membayar kepada penerima toko siluman dengan harga lebih tinggi.

Para pedagang semakin merana. Usahanya untuk mendapatkan kembali tempat dagangannya yang tak strategis itu pun tidaklah gratis. Semua harus bayar. Bahkan angka cicilannya juga berlipat ganda. Soalnya, lewat cicilan itulah para pedagang secara tak sadar “urunan” menanggung seluruh biaya pembangunan pasar. Tentu saja termasuk toko “jatah” para pejabat di dalamnya.

Para pedagang pun makin “diperas” lantaran tokonya itu tak bisa dimiliki selamanya. Pedagang hanya punya hak guna usaha, bukan hak milik. Dalam jangka waktu tertentu, atau sewaktu-waktu, haknya itu bisa hilang begitu saja jika kepala daerah periode berikutnya kembali meruntuhkan dan membangun pasar baru. Atau kalau cara ini tak berlaku, sering pula digantikan peristiwa musibah “KEBAKARAN”.

Musibah seperti seakan terus terulang. Akibatnya tidak sedikit pedagang yang gulung tikar. Namun ada pula pedagang yang tidak kapok alias jera. Terpaksa tetap terus berdagang, karena hanya inilah pilihan hidup. Kalau tak begitu, mau dinafkahi apa anak istrinya.

Kamis, 31 Juli 2008

Panggar Sialan!




Apakah semua wakil rakyat dilibatkan dalam pembahasan RAPBD atau RAPBN? Idealnya memang demikian. Rugi dong jadi wakil rakyat kalau tak ikut membahas buku yang teramat penting ini. Yup, dari lembaran demi lembaran buku itulah ditentukan nasib uang rakyat akan digunakan untuk apa nantinya. Mau dibikin proyek jalan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.

Pada kenyataannya tidak semua wakil rakyat bisa terlibat pembahasan RAPBD atau RAPBN. Kenapa begitu? Wakil rakyat memang masih boleh ikut rapat paripurna dengan pakaian safari untuk rame-rame menyebut SETUJU. Tapi sebelumnya, pada saat buku itu dibahas untuk dicorat-coret dengan pihak eksekutif ternyata tidak semua diperbolehkan ikut.

Entah kapan aturan ini persisnya mulai berlaku. Yang jelas wakil rakyat itu kini mereka telah dikotak-kotakkan. Pernah dengar istilah panggar dan panmus? Tidak semua wakil rakyat bisa masuk jadi anggota panggar (Panitia Anggaran). Tidak semua pula wakil rakyat bisa masuk anggota panmus (Panitia Musyawarah). Bahkan ada wakil rakyat yang tidak masuk kedua-duanya, baik sebagai anggota panggar maupun panmus. Yang tidak bisa ikut ini biasanya kalah suara di dalam fraksinya. Sekali lagi, teman satu fraksi pun kadang tak segan-segan mempolitikin sesamanya.

Saya hanya bisa menebak aturan panggar barangkali ini hanya strategi dari pihak eksekutif agar proses pembahasan RAPBD dan RAPBN itu berjalan dengan mulus. Semakin sedikit wakil rakyat diikutkan ke dalam panitia anggaran, semakin kecil pula “power” wakil rakyat untuk menolak anggaran yang diajukan. Kalau mau lebih ekstrim lagi pendapatnya; semakin sedikit wakil rakyat yang “bandel” dalam pembahasan, semakin kecil pula “ongkos” untuk menyogoknya.

Harus diakui pihak eksekutif itu memang ahli strategi. Contohnya pada saat menyerahkan berkas RAPBD itu ke gedung wakil rakyat. Biasanya penyerahan sengaja dimolor-molorkan waktunya. Dengan harapan waktu pembahasan dengan pihak dewan nanti sangat mepet.

Apalagi yang namanya buku RAPBD atau RAPBN itu tebalnya bukan main. Isinya angka-angka semua. Susunan angka nominalnya juga panjang. Angka miliar itu sampe 12 digit. Kalau wakil rakyat keahliannya hanya bisa menghitung satu dua ekor saja pasti terperangah ketika menyaksikan begitu banyaknya angka. Makanya, wakil rakyat itu saya sarankan belajar juga akuntansi biar tak kaget menghadapi angka-angka.

Mepetnya waktu, membuat pembahasan pun sering dikebut pelaksanaannya. Bahkan dilakukan hingga dini hari selama beberapa hari berturut-turut.

Pada pagi hari, barangkali wakil rakyat masih segar kondisinya. Tapi menjelang malam hari semuanya pada capek. Di saat kondisi kelelahan inilah “proyek-proyek siluman” biasanya dibahas. Dengan harapan para wakil rakyat lengah dan tidak terlalu bergairah untuk memprotes. Semua ingin cepat pulang menghilangkan kepenatan. Belum lagi ditambah tugas tambahan membikin pidato persetujuan fraksi untuk rapat paripurna nanti.

Intinya, wakil rakyat itu memang tidak semua bisa diandalkan mengkritisi RAPBD maupun APBN. Kalah strategi melulu sama pihak eksekutif. CPD (capek deh…)

Rabu, 30 Juli 2008

Bikin Blog Baru




Empat hari lalu, di Yahoo Messenger punyaku ada yang nongol. Seseorang dari Palembang berkomentar. “Mas, blognya kok nggak ada iklannya. Sayang tuh,” tulisnya dalam yahoo messenger. “Padahal lumayan, bisa nambah penghasilan,” sambungnya.

Seseorang dari Palembang ini mengembalikan memoriku empat tahun silam. Waktu itu saya dapat tugas dari kantor meliput PON XVI di Sumsel. Berkenalanlah dengan si dia. Kalau nggak salah namanya Yunus. Cowok yang satu ini adalah pengelola warnet persis di dekat hotelku menginap. Sayang saya sudah tak ingat lagi apa nama hotel dan warnetnya.

Yang jelas Yunus ini kunilai sangatlah baik. Dipuji begitu karena dulu Yunus mau saja bela-belain membukakan pintu warnetnya untukku yang mau mengirim hasil liputan. Tidak cuma terjadi semalam saja, tapi saban malam selama dua pekan berturut-turut. Padahal warnetnya itu sudah ditutup lebih dini. Pintu masuk untukku pun sengaja tidak dibuka lebar. Hanya cukup untuk lewat satu orang saja. Ini dimaklumi mengingat kota Palembang tingkat kriminalitasnya sangat rawan. Apalagi pada tengah malam.

Walau sudah lama tak berjumpa, namun ada saja sesekali si Yunus say hello lewat dunia maya. Nah, sejak empat hari komunikasi lewat Yahoo Messenger lebih sering dilakukan. Yunus mengenalkanku program Google AdSense. Sebuah mesin pencari paling terkenal di dunia yang menawarkan iklan kepada pemilik situs, termasuk blog. “Lumayan Mas. Saya sekarang dikirimin cek $300 (sekitar Rp3 juta, Red) tiap bulan. Sekarang malah mau ditingkatkan angka ceknya jadi $1.500,” kisahnya.

Wew… menggiurkan sekali. Sekaligus pula bikin saya penasaran. Saya barangkali sangat telat mengetahui hal ini. Apalagi Anda yang mungkin saja malah baru membacanya.

Yunus dasar memang baik orangnya. Yunus malah menawarkan diri membantu segala-galanya. Mulai dari membikinkan ID berbasis gmail. Memberikan beragam petunjuk cara masuk program Google AdSense. Hingga mengenalkan si Cosaandra, manusia Indonesia paling sukses meraih pundi-pundi dollar tiap bulan. Semua petunjuk disampaikan jarak jauh sambil chatting ria di tengah malam.

Berhubung sekarang menggunakan ID berbasis gmail, akhirnya saya memutuskan membikin blog baru. Blog sebelumnya masih menggunakan ID berbasis yahoo. Ini dikhawatirkan akan mengganggu proses pembayaran kelak.

Apa nama blog barunya? www.gampang-diingat.blogspot.com. Dengan di-launching-nya blog ini otomatis blog sebelumnya, www.silakan-coba.blogspot.com sudah tak berlaku lagi.

Posting kali ini merupakan posting terakhir di www.silakan-coba.blogspot.com. Anggap saja sebagai pengumuman. Semua isi blog sebelumnya telah dipindahkan ke blog baru, www.gampang-diingat.blogspot.com. Bagi yang berminat silakan berkunjung. Yah, untung saja blognya masih sedikit isinya. Seandainya sudah banyak, pasti capek juga memindahkannya ke blog yang baru.

Sekarang tampilan blognya bisa dilihat tambah rame. Penuh warna-warni dengan bertambahnya iklan. Terus terang keberadaan iklan ini tujuan utamanya bukan untuk mencari penghasilan tambahan. Soalnya urusan rejeki itu sudah ada yang mengatur di atas sana. Tujuan utamanya hanya untuk nambah ilmu. Hanya itu. Tidak disangka setelah beberapa hari baru bikin blog, ilmunya terus dan terus bertambah. Thank’s to Yunus di Palembang sana!

Selasa, 29 Juli 2008

Komisi Pemecahbelah Suara




Apa jadinya ketika orang awam terpilih jadi wakil rakyat? Pasti awalnya bingung. Kok banyak betul ya aturannya.

Jadi wakil rakyat itu ternyata juga tak bisa menyuarakan apa saja. Soalnya, suara wakil rakyat “dipecahbelah” ke dalam komisi-komisi. Wakil rakyat sejak awal dihadapkan pada pilihan mau ikut komisi mana? Ada komisi yang menangani bidang hukum dan pemerintahan. Ada komisi yang fokus di bidang pendidikan dan agama. Bahkan ada juga komisi yang khusus menangani bidang pembangunan. Pokoknya macam-macam komisinya, tergantung daerah masing-masing.

Jangan coba-coba berbicara di luar bidang komisinya. Pasti ada yang teriak, “hoy…, jangan ikut campur komisi orang lain. Urusi saja bidang komisiMu sendiri”. Yeah, entah siapa yang bikin aturan seperti itu. Seakan-akan sudah tercipta aturan tak tertulis, anggota komisi lain akan segera tersinggung bila urusan komisinya dicampuri.

Memilih komisi mana yang cocok juga tidak sembarangan. Sebab ada komisi di bidang tertentu yang jadi rebutan banyak wakil rakyat. Sampai-sampai kemudian muncul istilah “komisi basah” dan “komisi kering”.

Komisi basah biasanya berurusan dengan proyek-proyek pembangunan. Anggota komisi ini biasanya berperilaku sangat suka mencari-cari kesalahan proyek pemerintah. Semakin besar proyek yang diselewengkan pemerintah, semakin suka pula wakil rakyat di komisi itu.

Suaranya wakil rakyat di komisi basah ini diupayakan dikenceng-kencengin untuk mencuri perhatian. Dengan harapan pas kasus penyelewengan itu hendak diselesaikan secara “damai” yang bersangkutan akan mendapatkan imbalan gede. Kira-kira masih adakah wakil rakyat yang suka begini? Silakan dijawab sendiri.

Sementara itu komisi kering sebaliknya. Kebanyakan anggota komisi ini diisi “orang-orang buangan”. Mereka ini orang-orang yang kalah suara di fraksinya. Yup, namanya juga politik. Teman sesama satu fraksi pun kadang tak segan-segan untuk dipolitikin.

Para wakil rakyat biasanya bikin kesepakatan. Terutama untuk mengatasi ketidakadilan pembagian jatah masuk komisi ini. Tiap tahun polanya dibikin gantian. Tahun ini di Komisi A, tahun depan bisa pindah ke Komisi B, dan seterusnya.

Tapi persoalannya jumlah komisi itu beragam jumlahnya. Ada juga yang lebih dari lima komisi. Sementara waktu seseorang jadi wakil rakyat itu hanya lima tahun. Artinya ada komisi yang tidak sempat dimasuki selama menjadi wakil rakyat.

Otomatis, sekali lagi, wakil rakyat memang tidak bisa bersuara di semua bidang. Kecuali yang bersangkutan terpilih lagi pada periode berikutnya. Apa iya terpilih lagi…

Bolehkah Ulama Jadi Wakil Rakyat?




Harus diakui, ulama itu public figure. Pengikutnya banyak. Kalau ikut pemilu juga lebih gampang terpilih ketimbang rakyat biasa.

Cukup banyak parpol di tanah air mengusung agama sebagai simbolnya. Tak usahlah disebut nama parpol-parpol itu. Yang jelas simbol agama punya basis massa begitu menjanjikan bagi parpol. Satu pesantren saja tinggal dihitung berapa santrinya. Belum lagi dikalikan dengan jumlah para alumninya. Keterikatan emosional mereka untuk memberikan suara tentu begitu kuat.

Tak heran, parpol yang tak beraliran agama pun tak mau ketinggalan melibatkan ulama. Walau sang ulama pada saat kampanye tugasnya hanyalah sebagai tukang baca doa. Atau kalau toh masuk kepengurusan, namanya cuma diletakkan sebagai Pembina saja. Biar kesan parpol bersangkutan tidak dicap sebagai kumpulan manusia terbejat sedunia.

Begitu pula ketika calon bupati, gubernur, atau yang lebih tinggi ingin ikut pilkada. Para kandidat berlomba-lomba mendapatkan restu dari ulama. Semakin banyak ulama yang merestuinya, semakin berbanggalah dia. Tidak segan-segan kemudian “meminta” diterbitkan di media dengan judul; calon bupati si anu didukung sekian ulama.

Padahal belum tentu si ulama itu merestui satu calon saja. Bisa saja ada dua, kemudian tiga, atau semua calon direstuinya. Asalkan syaratnya datang langsung bersilaturahmi ke tempat tinggalnya. Nah, lho!

Lantas bolehkan ulama jadi wakil rakyat duduk di dewan? Tidak ada yang melarang. Silakan saja.

Asalkan fungsi si ulama saat jadi wakil rakyat nanti tak hanya jadi tukang baca doa saja. Ini bukanlah guyonan. Tapi, memang sudah jadi kenyataan. Walau tidak semua ulama yang jadi wakil rakyat begitu. Sebutlah…, oknum ulama saja.

Si oknum ulama ini setiap kali rapat intern di dewan maupun dengan pihak eksekutif kerjanya hanya diam saja. Cuma sebagai pendengar yang baik. Menjelang acara selesai, alias pas mau makan-makan, barulah namanya dipanggil untuk jadi pembaca doa.

Sungguh rugi rasanya punya wakil rakyat seperti ini. Mendingan jatahnya sebagai wakil rakyat itu dikasihkan ke orang lain saja. Mengingat masih banyak orang lain yang ingin jadi wakil rakyat. Cuma nasibnya saja yang apes, selalu kalah suara. Tapi, bisa jadi yang kalah suara ini sebenarnya lebih produktif.

Kalau toh misalnya tak mau juga mengasihkan jatahnya ke orang lain, tolonglah aktif bersuara. Kalau bingung apa yang hendak disuarakan, makanya nonton televisi dan baca koran tiap hari. Rajin-rajinlah pula turun ke lapangan memantau apa yang sedang terjadi di masyarakat. Biar wawasannya bertambah dan punya bahan untuk dibicarakan.

Selain itu, sebaiknya perkaya juga pengetahuannya dengan ilmu umum. Bisa di bidang hukum, ekonomi, akuntansi, hingga pemerintahan. Biar tak asbun (asal bunyi) saat bertemu pihak eksekutif. Selamat mencoba Ulamaku!

Mau Jadi Presiden?




Kapan presiden Indonesia itu bisa dicalonkan secara perseorangan? Apakah nanti bisa mengikuti jejak revisi UU 32/2004 yang kini membolehkan kepala daerah diajukan secara perseorangan? Barangkali hingga kini sangat sulit menjawabnya. Atau, jawabannya memang sengaja “dipersulit”.

Yeah, gambarannya itu bisa didapat takkala DPD (Dewan Perwakilan Daerah) beberapa waktu lalu secara resmi mengusulkan kebijakan itu ke DPR RI. Sejumlah oknum wakil rakyat secara terang-terangan menolaknya. Wakil rakyat di sana beranggapan parpol merupakan satu-satunya pihak yang punya hak eksklusif mengusulkan calon presiden.

Alasan yang dikemukakan wakil rakyat di gedung bundar sangat klasik. Katanya, “konstitusi telah mengatur hal ini”. Apakah konstitusi tidak bisa direvisi? Anda barangkali lebih ahli untuk menjawabnya.

Ketimbang repot-repot menjawabnya, bagaimana kalau saya ajak Anda sebentar termenung membayangkan apa kira-kira yang dilakukan calon presiden perorangan untuk memenangkan pemilu? Ini tentu lebih menarik. Maklum tantangannya pasti sangatlah berat.

Calon presiden yang diusung parpol boleh dibilang lebih diuntungkan. Mengingat mereka punya cabang hingga ke pelosok-pelosok. Sementara calon presiden perseorangan paling-paling terkenal di Jakarta atau paling banter di daerah asalnya.

Bukan berarti calon presiden perseorangan itu mustahil menang. Dana yang dikeluarkan sudah pasti besar. Tapi peluang tetap terbuka, asal tahu caranya. Tentu dihindari pemborosan pengeluaran yang berlebihan.

Kalau tak mau boros gandeng saja pihak media. Tentu bukan media nasional saja. Lebih cenderung melibatkan media lokal.

Apalagi sekarang media lokal yang profesional itu punya divisi Event Organizer. Jadi kerjasama saja dengan mereka. Daripada repot-repot membikin tim sukses di tiap kota. Lagipula sekarang itu bukan zamannya lagi kampanye harus digeber di sebuah panggung besar dengan menyewa artis sebagai penghibur. Harus dicari bentuk kampanye yang efektif dan dahysat.

Misalnya, saat yang bersangkutan hendak mencalonkan diri. Biasanya yang bersangkutan diminta mengumpulkan dukungan berupa KTP dan tanda tangan. Nah, menggelar acara pengumpulan ini gunakan saja jasa Event Organizer milik media lokal.

Pengumpulan KTP dan tanda tangan itu sebaiknya digelar secara terbuka dan transparan. Supaya yang hendak dicalonkan bisa mengukur dirinya itu memang didukung rakyat atau tidak. Kalau memang didukung, lanjutkan. Kalau ternyata tidak, perlu dipikir ulang sudah siapkah kehilangan duit lebih banyak lagi?

Biar mendapat dukungan besar, si calon perseorangan sebaiknya punya kelebihan lain dibanding calon yang diusung parpol. Misalnya, si calon perseorangan harus berani mengumumkan kabinetnya sejak jauh-jauh hari. Otomatis sebelum pemilu, rakyat sudah bisa mengetahui calon-calon menteri mendatang.

Calon menteri yang diumumkan sebaiknya lebih independen sehingga lebih mudah diterima “pasar suara”. Inilah yang membedakan dengan calon presiden yang diusung parpol. Mereka cenderung tidak berani mengumumkannya sejak jauh-jauh hari. Berdasarkan pengalaman, ini dikarenakan terlalu banyak “pesanan” dan kompromi dengan parpol lain.

Si calon perseorangan sebaiknya juga tahu apa yang dilakukan setelah terpilih nanti. Penyampaian visi dan misinya tidak lagi hanya omong kosong saja. Misalnya, menebarkan janji akan membuka seluas-luasnya lapangan kerja. Janji seperti ini sudah tidak laku lagi. Rakyat butuh program kongkritnya. Sebaiknya dijelaskan secara detail bagaimana tahapan-tahapannya! Rakyat otomatis bisa menilai solusi yang diajukan apakah memang layak untuk membuka lapangan kerja seluas-luasnya atau tidak.

Si calon perseorangan sebaiknya juga punya catatan peraturan apa saja yang hendak dibikinnya setelah terpilih nanti. Termasuk pula peraturan-peraturan apa saja yang hendak direvisinya. Tunjukkan kepada masyarakat catatan-catatan itu. Dukungan rakyat pasti membesar kalau mengetahui pasal-pasal yang merugikan rakyat selama ini akan dihapuskan.

Catatan ini bisa disampaikan sejak jauh-jauh hari lewat media local secara continue. Bisa saja berbentuk berita advertorial bersambung. Nah, ketika hendak mengumpulkan KTP dan tanda tangan bisa sekalian ditutup dengan diskusi di tiap kota. Pada akhirnya kerjasama dengan Event Organizer lokal itu memang harus satu paket. Kalau perlu disediakan mesin photocopy gratis, supaya setelah diskusi digelar peserta bisa langsung menyerahkan KTP-nya.

Sekarang tertarikkah Anda menjadi calon presiden perorangan? Sebaiknya memang dilihat dulu isi kantong Anda!

Lengkapi Website Parpol Anda!




Teknologi internet memudahkan siapa pun untuk mempromosikan sesuatu. Tak heran parpol pun kini ikut memanfaatkan internet. Tentu saja untuk mengkampanyekan dirinya lewat dunia maya.

Namun isi website yang disajikan pada umumnya masih seputar visi dan misi, struktur kepengurusan, hingga berita-berita mengenai kegiatan parpolnya. Bagi saya pribadi ini masih belum memuaskan. Saya ingin lebih dari itu.

Bukannya hendak memaksa. Cuma kadang gregetan saja dengan website milik pemerintah daerah. Informasi yang diberikan begitu sekilas dan sangat tidak lengkap. Ditambah lagi, data yang disajikan sudah usang pula. Padahal dana untuk membuat website pemerintah daerah itu selalu dianggarkan gede. Sungguh tak sebanding dengan hasilnya.

Saya pribadi berharap sekali website milik parpol jadi tandingan. Kalau kebetulan ada anggota parpol yang tak sengaja membaca tulisan ini, evaluasi sajalah webite milik parpol Anda. Tanyakan dalam benak Anda, informasi apa kira-kira yang sangat dibutuhkan pembaca.

Sebagai contoh sederhana, mengenai perda. Website pemerintah daerah bisa dibilang sangat langka memuat perda-perda miliknya secara detail. Jangankan masyarakat membacanya, untuk mencari perdanya saja susahnya minta ampun. Padahal perda itu idealnya diketahui seluruh masyarakat. Bukan untuk dipajang, atau hanya boleh diketahui sekelompok orang saja.

Yeah, sewaktu raperda itu diparipurnakan di dewan memang sih biasanya diliput oleh media. Namun informasi yang diterbitkan besoknya hanya sekilas. Paling menceritakan tentang gambaran umum perdanya saja. Tidak membahas pasal demi pasal secara detail. Itu bisa dimaklumi mengingat media juga punya keterbatasan halaman.

Tapi, janganlah pula pemerintah daerah berdalih sudah maksimal memberikan sosialiasi. Misalnya mengatakan sebelum raperda itu diajukan, sebelumnya kan’ lebih dulu diadakan lokakarya. Kalo dalihnya begitu kan mudah sekali dipatahkan. Berapa orang sih yang ikut lokakarya itu? Sedikit sekali bukan! Tentu tidak sebanding kan dengan jumlah warga kota. Makanya jangan heran kalau masyarakat awam banyak yang tak tahu ada aturan, terutama dari perda baru.

Di gedung dewan memang sih ada perpustakaan. Masyarakat masih bisa membacanya di sana. Sayangnya perpustakaan di dewan itu juga tidak lengkap. Paling-paling yang ada perda-perda baru saja. Perda yang lama sudah tak diketahui lagi rimbanya. Di sisi lain, kalau ingin membacanya di sana juga
sering terkendala waktunya yang sangat sempit. Kalau toh ingin membawa pulang untuk membaca di rumah, prosedurnya juga begitu bertele-tele. Sampe ditanya segala, “sampeyan keperluannya apa jadi minjam perda ini”. Duh, repotnya.

So, kalau boleh usul bagi pengelola website parpol sudah saatnya memuat perda-perda itu. Terserah caranya gimana. Entah diketik sendiri atau copy paste saja dari Biro Hukum pemerintah daerah setempat. Itupun kalo Biro Hukumnya punya sistem pengarsipan yang rapi dan juga mau memberikan datanya. Kalau tak mau, suruh saja wakil parpol Anda di kursi dewan untuk mendesak memberikannya.

Tentu senang sekali bukan jika website parpol Anda dijadikan referensi oleh warga yang ingin mencari perda terlengkap. Soalnya, sedikit banyaknya website parpol Anda dibaca orang. Makanya sejak sekaranglah siap-siap berkeringat untuk melakukannya!

Duh, banyak betul Parpolnya!





Beberapa hari lalu, di sebuah televisi swasta, ada tayangan menarik. Seusai diumumkan oleh KPU, masyarakat diminta komentarnya, mau memilih partai baru atau partai lama? Jawabannya tentu sangat beragam. Yang memilih partai lama beralasan; tidak kenal tuh siapa sih penghuni pengurus partai baru itu, dan apa pula maunya dalam pemilu mendatang. Sementara yang memilih partai baru beralasan sudah kenal seluk beluk partai lama, jadi menginginkan adanya perubahan.

Bisa dibilang alasan yang diucapkan masing-masing kubu ada betulnya. Itu kalo melihat realita yang terjadi di lapangan. Penghuni partai baru kalo ditengok kok kayaknya mirip orang-orang partai lama juga? Dugaan sementara sih mereka itu orang-orang yang tak kuat bersaing di partai lama. Kemudian memilih mendirikan partai baru agar aksesnya mendapatkan kekuasaan lebih instan. Yeah, daripada terlalu lama menunggu pengurus senior partai lama “meninggal” dulu, kan panjang betul antrean untuk menggantinya.

Kalo memilih partai lama juga harus siap geleng-geleng kepala. Itu jika menengok dari sudut pandang produk yang dihasilkan partai-partai lama di gedung dewan hingga saat ini. Para wakil rakyat yang ada sekarang sih bisa dibilang jago ngomong. Tapi, untuk urusan setuju dan tidak setuju saja.

Sangat langka ditemui ada anggota dewan yang berjuang dari awal sampai kemudian berhasil menggolkan sebuah produk. Tentu produk yang dimaksud di sini adalah produk perundang-undangan. Padahal wakil rakyat itu punya hak inisiatif. Namun rata-rata hak inisiatif itu tak pernah digunakan. Justru hak inisiatif selalu datangnya dari pihak eksekutif saja. Wakil rakyat lebih sering tugasnya cuma tinggal coret sana dan coret sini dengan diakhiri dengan kata SETUJU.

Menggunakan hak inisiatif memang tidaklah mudah. Dituntut peran parpol yang sangat besar. Misalnya, mengadakan pelatihan membuat perundang-undangan untuk calon wakil rakyat yang hendak duduk di dewan. Tentu harus mengundang para pakar yang ahli di bidangnya dan independen. Bila ada yang tidak lulus pelatihan dan tak mendapat sertifikat, dilarang saja ikut pencalonan. Otomatis kualitas calon wakil rakyat yang diajukan lebih mumpuni.

Kemudian parpol sebaiknya juga aktif membikin rancangan perundang-perundangan. Tentu rancangan perundang-undangan yang diusulkan sifatnya bukan copy paste saja. Ah, jadi ingat studi banding yang kerap dilakukan anggota dewan. Paling banter saat hendak pulang minta oleh-oleh perundang-undangan dari kota yang jadi tempat studi banding. Selebihnya basa-basi dan jalan-jalan saja. Padahal kalo mau minta contoh perundang-undangan dari kota lain tak perlu datang ke sana. Parpol itu kan punya cabang di mana-mana. Jadi tinggal minta dikirimi saja sama temannya dari kota lain.

Intinya kalau parpol aktif membikin sendiri rancangan perundang-undangan tentu lebih mudah memperjuangkannya di dewan. Kalau perjuangannya diekspos media kan’ sungguh cantik peran parpol dinilai oleh masyarakat. Jadi kesannya parpol itu tak ramenya saat kampanye pemilu saja.

Adakah diantara 34 parpol yang diumumkan KPU baru-baru tadi punya sistem seperti ini? Kalau ada, saya sendiri ikhlas siap memilihnya. Kalau belum ada, silakan pula Anda golput atau tidak datang ke TPS nanti. Tapi atas keinginan pribadi, bukan saya yang menyuruh!

Welcome

Welcome to www.gampang-diingat.blogspots.com

This blog is created by Eddy Hardiyanto. The writer is a journalist from Banjarmasin, Southern Kalimantan, Indonesia. He works as a sport page editor in Radar Banjarmasin daily newspaper.

This blog is written in Indonesian language. It considers the large amount of Indonesian people. Indonesia is the fourth largest amount of the people in the world after China, India and the United States. It is about 228 million people.

The internet user in Indonesia is increasing year by year. Even, the internet cafes are spreading everywhere. No doubt there also more people create blogs in Indonesian language.

The blog is planned to contain about various aspects of life in Indonesia. From politic, economy, law, education, technology, human interest, humor, sport, etc. The writings are based on the observations and experiences during being a journalist. The writer also tries to give solution from the problem of discussed writing themes in this blog.

Please enjoy this blog. You may give comments if it is necessary as long as the comment is in polite and good manner.