Kamis, 21 Agustus 2008

Pindahkan PKL ke Pasar Gratis




PKL alias pedagang kaki lima sudah rahasia umum jadi musuh bebuyutan petugas Satpol PP. Terutama PKL yang masih suka bandel menjajakan dagangannya di daerah terlarang. PKL sering mengajak kucing-kucingan petugas. Maklum yang dilarang itu tempatnya justru strategis untuk berdagang.

PKL sering dicap pemerintah sebagai perusak keindahan pemandangan kota. Wadah berdagangnya asal-asalan bentuk dan warnanya. Lokasinya juga di emperan mana saja. Ada yang mempersempit jalan raya. Ada yang merebut trotoar jatahnya pejalan kaki. Ada yang memakai lahan milik orang lain dan sangat keterlaluan ketika diminta pindah malah minta ganti rugi.

PKL sebenarnya juga ada sisi positifnya. Saat kehabisan bahan bakar di jalan, kebetulan ada pedagang bensin eceran. Saat ada keperluan di tengah malam dan toko-toko sudah pada tutup semua, kebetulan ada warung jalanan. Saat krisis moneter menerpa Negara kita, PKL jadi solusi tepat bagi karyawan yang dipecat.

Pertanyaannya adakah cara mengangkat harkat dan martabat para PKL? Berandai-andai kan boleh. Misalnya bagaimana kalau begini; pemerintah bikin saja pasar gratis.

Yeah, sekarang kan zamannya lagi rame yang gratisan. Terutama rame diucapkan calon kepala daerah pada masa kampanye. “Pilihlah saya, pendidikan gratis”. “Pilihlah saya, kalau sakit berobat akan gratis”. “Pilihlah saya, bikin KTP gratis”.

Kalau pasar digratiskan tentu akan disambut antusias oleh PKL. Yup, problem yang dihadapi PKL selama ini kalau ingin berdagang di pasar maka tak akan sanggup menyediakan ongkos tebus toko. Ukuran wadah berjualan yang sempit saja mahalnya kelewatan.

Itu belum termasuk beban retribusi yang begitu rupa dan harus dibayar tiap hari. Ada retribusi sampah. Ada retribusi pengelola pasar. Ada retribusi parkir. Hingga ada “retribusi” preman pasar. PKL akan tujuh kali berpikir untuk berpindah berdagang ke pasar.

Apakah mungkin pasar digratiskan? Digratiskan sama sekali sih sebaiknya nggak juga. Paling tidak yang gratis itu ongkos tebus toko saja. Itu sudah meringankan PKL yang hendak pindah berdagang ke pasar. Sementara untuk retribusi masih perlu ada. Tujuannya untuk menambah pendapatan asli daerah yang nantinya digunakan lagi untuk membangun pasar-pasar yang baru—di lokasi lain.

Ketika kebijakan meniadakan ongkos tebus toko ini dimulai harus diakui jumlah PAD akan berkurang. Namun itu terjadi di awal saja. Lama kelamaan jumlah pasar yang baru dibangun akan terus bertambah. Lama kelamaan jumlah pedagang resmi juga terus berlipat ganda. Lama kelamaan membeludaknya jumlah pedagang membuat hasil retribusi yang dipungut tiap hari juga semakin banyak.

Peredaran uang masyarakat semakin cepat berputar. Perekonomian otomatis meningkat tajam. Di sisi lain jumlah PKL yang dianggap merusak pemandangan semakin berkurang. Jadi bagaimana pendapat Anda?