Jumat, 01 Agustus 2008
Pedagang Makin Merana
Untuk bisa terpilih jadi kepala daerah macam walikota maupun bupati pastilah sangat besar ongkosnya. Tidak mungkin hanya modal dengkul saja. Meski ada pihak ketiga membantu, tapi biasanya tidak akan pernah seratus persen. Yang bersangkutan juga pasti malu kalau orang lain terus membayar kampanyenya. Jadi ya harus tetap keluar duit juga.
Adakah cara untuk mengembalikan ongkos yang telah dikeluarkan? Seorang Pak Tua dalam sebuah obrolan tak formal pernah bercerita kepadaku. Ada lho cara gampang mengembalikannya. “Utak-atik saja pasar”.
Yup, pasar di sini memang pasar betulan. Pasar yang merupakan kumpulan toko, kios, bak, dan sebagainya. Pasar yang menjual macam-macam barang, mulai dari pedagang kelontongan hingga menjual lontong beneran.
Lantas darimana uangnya bisa dihasilkan? Tentu lewat kebijakan. Pasar yang ada di wilayahnya diruntuhkan dan diganti dengan bangunan baru. Kok diruntuhkan? Ya, cara itu paling efektif menghasilkan uang.
Awalnya, pedagang pasti akan menolak kebijakan itu. Tapi itu tidak masalah. Pedagang itu pasti punya perkumpulan. Nah, tinggal ketuanya saja yang “dikuasai “, pasti beres deh masalahnya.
Dengan cara diruntuhkan, kepala daerah dan jajarannya akan lebih gampang mengatur ulang posisi pasar. Toko punya pedagang yang dulu ukurannya besar-besar sekarang disempitkan. Dengan mengecilnya luas toko, otomatis memberikan ruang untuk menambah jumlah “toko siluman”.
Tambahan “toko siluman” ini biasanya sangat mudah “dipermainkan”. Statusnya tiba-tiba berubah jadi milik istri, anak, maupun kerabat para pejabat. Supaya adil, pihak legislative juga turut kebagian. Hebatnya lagi, posisi toko-toko siluman “jatah” para pejabat itu letaknya sangat strategis di dalam pasar. Supaya lekas laku pas dijual nanti.
Pedagang penghuni awal di pasar tersebut biasanya hanya bisa gigit jari. Sudah tokonya menyempit, eh posisinya ditempatkan tak strategis pula. Berada di lorong-lorong yang jarang dilewati pengunjung pasar. Kalau mereka mau pindah ke posisi strategis, tentu harus membayar kepada penerima toko siluman dengan harga lebih tinggi.
Para pedagang semakin merana. Usahanya untuk mendapatkan kembali tempat dagangannya yang tak strategis itu pun tidaklah gratis. Semua harus bayar. Bahkan angka cicilannya juga berlipat ganda. Soalnya, lewat cicilan itulah para pedagang secara tak sadar “urunan” menanggung seluruh biaya pembangunan pasar. Tentu saja termasuk toko “jatah” para pejabat di dalamnya.
Para pedagang pun makin “diperas” lantaran tokonya itu tak bisa dimiliki selamanya. Pedagang hanya punya hak guna usaha, bukan hak milik. Dalam jangka waktu tertentu, atau sewaktu-waktu, haknya itu bisa hilang begitu saja jika kepala daerah periode berikutnya kembali meruntuhkan dan membangun pasar baru. Atau kalau cara ini tak berlaku, sering pula digantikan peristiwa musibah “KEBAKARAN”.
Musibah seperti seakan terus terulang. Akibatnya tidak sedikit pedagang yang gulung tikar. Namun ada pula pedagang yang tidak kapok alias jera. Terpaksa tetap terus berdagang, karena hanya inilah pilihan hidup. Kalau tak begitu, mau dinafkahi apa anak istrinya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar