Selasa, 29 Juli 2008
Bolehkah Ulama Jadi Wakil Rakyat?
Harus diakui, ulama itu public figure. Pengikutnya banyak. Kalau ikut pemilu juga lebih gampang terpilih ketimbang rakyat biasa.
Cukup banyak parpol di tanah air mengusung agama sebagai simbolnya. Tak usahlah disebut nama parpol-parpol itu. Yang jelas simbol agama punya basis massa begitu menjanjikan bagi parpol. Satu pesantren saja tinggal dihitung berapa santrinya. Belum lagi dikalikan dengan jumlah para alumninya. Keterikatan emosional mereka untuk memberikan suara tentu begitu kuat.
Tak heran, parpol yang tak beraliran agama pun tak mau ketinggalan melibatkan ulama. Walau sang ulama pada saat kampanye tugasnya hanyalah sebagai tukang baca doa. Atau kalau toh masuk kepengurusan, namanya cuma diletakkan sebagai Pembina saja. Biar kesan parpol bersangkutan tidak dicap sebagai kumpulan manusia terbejat sedunia.
Begitu pula ketika calon bupati, gubernur, atau yang lebih tinggi ingin ikut pilkada. Para kandidat berlomba-lomba mendapatkan restu dari ulama. Semakin banyak ulama yang merestuinya, semakin berbanggalah dia. Tidak segan-segan kemudian “meminta” diterbitkan di media dengan judul; calon bupati si anu didukung sekian ulama.
Padahal belum tentu si ulama itu merestui satu calon saja. Bisa saja ada dua, kemudian tiga, atau semua calon direstuinya. Asalkan syaratnya datang langsung bersilaturahmi ke tempat tinggalnya. Nah, lho!
Lantas bolehkan ulama jadi wakil rakyat duduk di dewan? Tidak ada yang melarang. Silakan saja.
Asalkan fungsi si ulama saat jadi wakil rakyat nanti tak hanya jadi tukang baca doa saja. Ini bukanlah guyonan. Tapi, memang sudah jadi kenyataan. Walau tidak semua ulama yang jadi wakil rakyat begitu. Sebutlah…, oknum ulama saja.
Si oknum ulama ini setiap kali rapat intern di dewan maupun dengan pihak eksekutif kerjanya hanya diam saja. Cuma sebagai pendengar yang baik. Menjelang acara selesai, alias pas mau makan-makan, barulah namanya dipanggil untuk jadi pembaca doa.
Sungguh rugi rasanya punya wakil rakyat seperti ini. Mendingan jatahnya sebagai wakil rakyat itu dikasihkan ke orang lain saja. Mengingat masih banyak orang lain yang ingin jadi wakil rakyat. Cuma nasibnya saja yang apes, selalu kalah suara. Tapi, bisa jadi yang kalah suara ini sebenarnya lebih produktif.
Kalau toh misalnya tak mau juga mengasihkan jatahnya ke orang lain, tolonglah aktif bersuara. Kalau bingung apa yang hendak disuarakan, makanya nonton televisi dan baca koran tiap hari. Rajin-rajinlah pula turun ke lapangan memantau apa yang sedang terjadi di masyarakat. Biar wawasannya bertambah dan punya bahan untuk dibicarakan.
Selain itu, sebaiknya perkaya juga pengetahuannya dengan ilmu umum. Bisa di bidang hukum, ekonomi, akuntansi, hingga pemerintahan. Biar tak asbun (asal bunyi) saat bertemu pihak eksekutif. Selamat mencoba Ulamaku!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar