Rabu, 27 Agustus 2008
Pramugari Merangkap Pedagang Asongan
Maskapai penerbangan di tanah air cukup banyak jumlahnya. Walau jika ditotal masih bisa dihitung dengan jari kaki dan tangan. Itu belum termasuk maskapai dari luar yang juga mencari rejeki di sini.
Harga tiket yang ditawarkan masing-masing maskapai juga beragam. Meski rute dan jarak yang ditempuh sebenarnya sama. Yang membedakan hanya kualitas pelayanan selama di udara.
Penumpang Garuda Airlines sudah pada tahu harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk bisa terbang. Penumpangnya pun kebanyakan berasal dari kalangan berkelas. Namun pelayanan yang didapatkan selama penerbangan juga sebanding dengan ongkosnya. Sesudah duduk dikursinya, sebelum berangkat penumpang ditawari permen lebih dulu. Kemudian di tengah perjalanan dibagikan makanan gratis oleh para pramugari. Untuk minumnya juga tinggal pilih mau apa, soft drink, coffee, teh, hingga susu. Kalau toh masih terasa haus, penumpang masih diperkenankan menambah minuman. Tinggal bilang saja. Pokoknya penumpang diperlakukan sebagai raja.
Harga tiket pesawat yang lebih murah dari Garuda tentu lain lagi pelayanannya. Ada maskapai yang hanya menyediakan kue atau roti saja di dalam sebuah kotak, plus segelas air mineral plastik. Bahkan ada juga hanya segelas air mineral plastik saja.
Kalau penumpang pesawat Lion Air atau Wings Air justru tidak mendapatkan apa-apa. Tapi di atas pesawat menariknya ada “pedagang asongan” yang menjajakan makanan. Tentu bukan pedagang asongan sembarangan. Melainkan para pramugari yang mendorong “gerobak makanan dan minuman ringan” sambil menyinggahi tiap penumpang sambil bertanya; “Bapak, ibu, adik mau beli makanan atau minuman,” tawarnya kepada penumpang.
Huahahaha…, pramugari Lion Air atau Wings Air ternyata lebih hebat ketimbang pramugari Garuda. Mereka ternyata tak hanya dibekali ilmu sebagai pramugari yang handal. Pramugari yang cantik-cantik itu juga diajari gimana caranya jadi “pedagang asongan” yang sopan. Hebat sekali bukan?
Saya hanya tidak bisa membayangkan suasananya jika seandainya seluruh penumpang itu membawa bekal makanan dari rumahnya masing-masing. Bekal makanannya itu dibuat ke dalam rantang atau nasi bungkus. Kemudian dibuka rame-rame mirip orang tamasya sekeluarga di pantai. Pasti weleh…, weleh…, weleh…, suasananya.
Yeah, daripada beli makanan atau minuman di bandara. Harganya sudah pasti selangit lantaran pajaknya gede banget. Selain itu, belum tentu sesuai dengan selera.
Kamis, 21 Agustus 2008
Pindahkan PKL ke Pasar Gratis
PKL alias pedagang kaki lima sudah rahasia umum jadi musuh bebuyutan petugas Satpol PP. Terutama PKL yang masih suka bandel menjajakan dagangannya di daerah terlarang. PKL sering mengajak kucing-kucingan petugas. Maklum yang dilarang itu tempatnya justru strategis untuk berdagang.
PKL sering dicap pemerintah sebagai perusak keindahan pemandangan kota. Wadah berdagangnya asal-asalan bentuk dan warnanya. Lokasinya juga di emperan mana saja. Ada yang mempersempit jalan raya. Ada yang merebut trotoar jatahnya pejalan kaki. Ada yang memakai lahan milik orang lain dan sangat keterlaluan ketika diminta pindah malah minta ganti rugi.
PKL sebenarnya juga ada sisi positifnya. Saat kehabisan bahan bakar di jalan, kebetulan ada pedagang bensin eceran. Saat ada keperluan di tengah malam dan toko-toko sudah pada tutup semua, kebetulan ada warung jalanan. Saat krisis moneter menerpa Negara kita, PKL jadi solusi tepat bagi karyawan yang dipecat.
Pertanyaannya adakah cara mengangkat harkat dan martabat para PKL? Berandai-andai kan boleh. Misalnya bagaimana kalau begini; pemerintah bikin saja pasar gratis.
Yeah, sekarang kan zamannya lagi rame yang gratisan. Terutama rame diucapkan calon kepala daerah pada masa kampanye. “Pilihlah saya, pendidikan gratis”. “Pilihlah saya, kalau sakit berobat akan gratis”. “Pilihlah saya, bikin KTP gratis”.
Kalau pasar digratiskan tentu akan disambut antusias oleh PKL. Yup, problem yang dihadapi PKL selama ini kalau ingin berdagang di pasar maka tak akan sanggup menyediakan ongkos tebus toko. Ukuran wadah berjualan yang sempit saja mahalnya kelewatan.
Itu belum termasuk beban retribusi yang begitu rupa dan harus dibayar tiap hari. Ada retribusi sampah. Ada retribusi pengelola pasar. Ada retribusi parkir. Hingga ada “retribusi” preman pasar. PKL akan tujuh kali berpikir untuk berpindah berdagang ke pasar.
Apakah mungkin pasar digratiskan? Digratiskan sama sekali sih sebaiknya nggak juga. Paling tidak yang gratis itu ongkos tebus toko saja. Itu sudah meringankan PKL yang hendak pindah berdagang ke pasar. Sementara untuk retribusi masih perlu ada. Tujuannya untuk menambah pendapatan asli daerah yang nantinya digunakan lagi untuk membangun pasar-pasar yang baru—di lokasi lain.
Ketika kebijakan meniadakan ongkos tebus toko ini dimulai harus diakui jumlah PAD akan berkurang. Namun itu terjadi di awal saja. Lama kelamaan jumlah pasar yang baru dibangun akan terus bertambah. Lama kelamaan jumlah pedagang resmi juga terus berlipat ganda. Lama kelamaan membeludaknya jumlah pedagang membuat hasil retribusi yang dipungut tiap hari juga semakin banyak.
Peredaran uang masyarakat semakin cepat berputar. Perekonomian otomatis meningkat tajam. Di sisi lain jumlah PKL yang dianggap merusak pemandangan semakin berkurang. Jadi bagaimana pendapat Anda?
Jumat, 08 Agustus 2008
PLN Katanya Kok Rugi?
PLN selalu rugi! Wah, ini bukanlah berita menghebohkan. Semua orang sudah pada tahu. Sejak dulu PLN mengaku selalu mengalami kerugian.
Tiap tahun juga selalu minta disubsidi kepada pemerintah. Angka subsidinya juga selalu mencengangkan. Bukan miliaran Rupiah lagi. Tapi, sudah triliunan.
Dengan subsidi saban tahun itu pun sayangnya PLN tak mampu melayani permintaan konsumen sepenuhnya. Krisis listrik masih saja terjadi. Kecuali barangkali untuk wilayah Pulau Jawa dan Bali. Kalau di luar kedua pulau itu sungguh mengenaskan kondisinya.
Pengusaha real estate mengeluh, kompleks perumahan yang dibangunnya sangat susah dipasarkan lantaran begitu lamanya antrean permintaan pemasangan listrik baru. Pengusaha lainnya juga mencak-mencak karena suplai listrik mengganggu kenyamanan dalam berbisnis. Warga juga mengomel karena PLN sangat sering memadamkan aliran listrik ke rumahnya secara bergiliran. Yang paling kasihan itu bila lilin pengganti listrik sementara membuat rumah warga KEBAKARAN.
PLN berdalih selalu merugi karena kebijakan untuk menaikkan tarif listrik selalu ditentang masyarakat. PLN juga tak punya modal untuk alih teknologi pembangkit listrik yang lebih murah ongkos produksinya. Misalnya dari berbahan bakar minyak berpindah ke bahan bakar batubara.
Sementara ketika pihak swasta yang ingin membantu membangunkan pembangkit listrik malah dipersulit izinnya. Padahal niat pihak swasta sangat baik, mengubah kerugian menjadi sebuah keuntungan yang bisa diterima PLN. Karena harga yang ditawarkan lebih rendah dari tarif listrik sekarang.
***
Saya pernah diundang menghadiri jumpa pers PLN di sebuah rumah makan mewah. Jumpa pers itu bercerita tentang kerugian yang dialami PLN pada tahun itu. Jumpa pers ini tentu saja dilengkapi dengan angka-angka kerugian.
Namun anehnya hidangan yang disajikan untuk para wartawan begitu mewahnya. Makanannya macam-macam. Tinggal dipilih mau makan apa. Setahu saya per porsi makanan itu pastilah sangat mahal harganya.
Dalam jumpa pers itu pula pihak PLN tak menunjukkan tanda-tanda kesedihan. Suasana jumpa pers justru diselingi senyuman dan derai tawa. Seakan-akan PLN tidak mengalami kerugian.
Saya pun berbisik kepada rekan wartawan yang duduk di sebelah. “Lho, katanya rugi. Tapi, kok makanannya mewah sekali,” ucap saya sambil berbisik. “Sudah kau diam saja. Nikmati saja makanannya,” jawab rekan wartawan di sebelah.
Sudah semestinyalah pihak PLN mengubah perilakunya sebagai bentuk keprihatinan. Dari yang suka mewah-mewah beralih lebih sederhana. Jangan sampai muncul pandangan di masyarakat mengakunya selalu rugi tapi karyawannya kenapa kaya-kaya.
PLN jangan cuma piawai membikin slogan kepada masyarakat, “Hemat Energi Hemat Biaya”. PLN sendiri juga harus menerapkannya. Dengan diperketatnya pemborosan semoga saja PLN tak terlalu banyak menggerus uang subsidi pemerintah.
Rabu, 06 Agustus 2008
Kaji Ulang Pasar Bertingkat!
Kebijakan pemerintah meruntuhkan pasar kemudian menggantinya dengan bangunan yang baru kerap memunculkan kontroversi. Macam-macam bentuk kontroversinya. Salah satunya kontroversi yang biasa terjadi adalah pada saat menentukan di manakah letak kelompok-kelompok pedagang di bangunan baru nanti.
Masalahnya sangat terkait bentuk bangunan baru itu sendiri. Awalnya pasar itu cuma satu lantai. Pemerintah selanjutnya membangun gedung pasar itu menjadi bertingkat-tingkat. Tujuannya jelas, ingin meraih keuntungan berlipat ganda karena jumlah toko yang bisa dibangun akan lebih banyak.
Namun antar pedagang akan saling protes memperebutkan posisi kelompok tokonya nanti. Masing-masing kelompok itu sama-sama ingin diletakkan di lantai bawah. Tidak ada yang mau diletakkan di lantai atas. Di lantai atas itu dianggap kurang strategis mengingat orang enggan naik tangga. Capek.
Kelompok-kelompok pedagang sendiri bermacam-macam. Ada kelompok pedagang kelontongan. Ada kelompok pedagang konfeksi (pakaian jadi). Ada kelompok pedagang bahan bangunan. Ada juga kelompok pedagang sayur dan ikan. Juga ada kelompok-kelompok pedagang lainnya.
Kelompok favorit ibu-ibu rumah tangga tentu saja para pedagang sayur dan ikan. Hampir tiap hari tanpa absen kelompok ini selalu banyak pengunjung. Ibu-ibu rumah tangga mengunjunginya demi membeli beragam keperluan dapur untuk dimakan.
Tak heran kelompok pedagang sayur dan ikan ini kemudian biasanya diletakkan di lantai atas. Tujuannya agar para pedagang kelompok lain juga kecipratan rejeki. Dengan dikunjunginya pedagang sayur dan ikan tiap hari maka calon pembeli otomatis melewati dagangan kelompok lain. Walau itu hanya sekadar lewat, tapi sudah menghibur pedagang lain ketimbang tidak ada yang lewat sama sekali.
Tapi celakanya strategi penempatan kelompok pedagang sayur dan ikan di lantai atas ini tidak selamanya berhasil. Dari sejumlah pasar yang pernah saya kunjungi malah strategi itu gagal total. Pedagang sayur dan ikan di lantai atas itu justru banyak mengeluh. Jumlah pengunjungnya menurun drastis.
Kenapa bisa begitu? Sekali lagi pembeli itu malas naik tangga. Nah, ketika ada pedagang sayur dan ikan menjajakan dagangannya di lantai bawah otomatis mereka lebih memilih ke situ.
Bisakah pedagang di lantai atas itu protes? Tentu tidak bisa. Soalnya, pedagang sayur dan ikan pesainganya itu berdagang di luar area pasar. Jangankan menertibkan, menegur pun Petugas Satpol PP tak punya kewenangan. Soalnya mereka memilih berdagang di luar area meski posisinya sangat berdekatan dengan pasar tersebut.
Pedagang sayur dan ikan di lantai atas semakin merana lantaran pesaingnya di bawah itu berani banting harga. Ya, harga jauh lebih murah. Kenapa ini bisa terjadi?
Jangan berprasangka dulu pedagang sayur dan ikan yang di bawah itu yang jahat. Justru yang perlu dipahami adalah kenapa pedagang sayur dan ikan di lantai atas harganya jauh lebih mahal. Ini sangat wajar mengingat pedagang di lantai atas itu harus dibebani lagi dengan ongkos tebus tempatnya berdagang. Sementara pedagang ikan dan sayur di bawah cukup menggelar dagangannya di tanah tanpa dibebani biaya apa pun.
Dengan tulisan ini saya hanya berharap kepada pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakannya membangun pasar bertingkat. Kecuali di pasar itu disediakan escalator plus lift, baru saya setuju. Pembeli tidak capek naik tangga.
Lewat tulisan ini pula saya menanti pemerintah untuk mengkaji ulang penempatan pedagang ikan dan sayur itu di lantai atas. Berdasarkan pengalaman, bila diletakkan di lantai atas malah menimbulkan bau yang kurang sedap. Sebagus apapun pembuangan limbahnya tetap saja lama kelamaan menimbulkan bau. Lagipula membawa air ke lantai atas untuk membersihkannya itu membutuhkan tenaga dan airnya juga tidak didapatkan secara gratis.
Selasa, 05 Agustus 2008
Pungli Berkedok Kelebihan Tonase
Beberapa hari lalu ada tayangan menarik di televisi swasta di tanah air. Pertama, pemirsa disuguhi tayangan investigasi beragam pungli (pungutan liar, Red) yang terjadi di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta. Beberapa hari kemudian, di televisi swasta berbeda, juga ada rekaman pungli serupa tapi di lokasi berbeda, yakni di sepanjang pantura—mulai dari Jakarta hingga Surabaya.
Kupasan investigasi ini terbilang cukup berani. Tidak hanya peristiwa pungli saja yang direkam. Tapi sang reporter juga turun langsung menyapa si pelaku sambil menanyakan yang dilakukannya itu pungli atau tidak?
Nekatnya lagi, pelaku pungli yang diwawancarai secara langsung oleh reporter itu tidak hanya berprofesi sebagai preman. Namun juga dilakukan aparat berseragam. Korbannya para sopir truk atau pick up yang berseliweran mengangkut barang.
Para sopir terlihat tak berkutik. Terpaksa singgah sejenak. Tangannya keluar dari jendela mobil sambil menyerahkan selembar uang. Atau ada juga kernetnya yang turun untuk langsung menyerahkan. Atau ada juga yang melemparkan uangnya dan kemudian dipungut oleh si pelaku.
Khusus untuk pungli di sepanjang pantura justru TKP-nya terjadi di pos-pos jembatan timbang. Sebuah tempat yang semestinya melarang truk atau pick up kelebihan muatan untuk lewat. Namun anehnya truk atau pick up kelebihan muatan itu diperiksa pun tidak. Asalkan mengasih uang, silakan jalan. Diperkirakan dalam sehari uang pungli yang terkumpul di setiap pos itu mencapai Rp5 juta. Enak betul ya aparat berseragam mencari uang tambahan.
Saya jadi berpikir, peraturan pembatasan tonase muatan jalan raya itu dibikin untuk apa sih? Peraturan pembatasan tonase akhirnya terkesan jadi akal-akalan saja. Peraturan itu sengaja dibikin justru untuk dijadikan alat “melegalkan” pungli. Bayangkan sendiri, pos jembatan timbang yang didirikan dengan uang rakyat akhirnya malah dijadikan tempat berteduh paling nyaman untuk melakukan pungli.
Jauh sekali menyimpang fungsinya. Tujuan awal pendirian pos itu barangkali agar jalan tak cepat rusak. Tapi, saban tahun jalan-jalan utama tetap diperbaiki juga. Mau rusak atau kondisinya masih baik, toh tetap akan jadi proyek.
Mendingan begini, peraturan pembatasan tonase dihapuskan saja. Sebaliknya dibikin lagi aturan baru, proyek jalan harus tahan lama alias awet. Sudah ada kan’ contoh jalan beton yang kuatnya diacungi jempol. Jadi berapapun jumlah muatannya silakan jalan. Dengan begitu arus perpindahan barang dari kota yang satu ke kota lain tidak dibebani lagi ongkos pungli.
Minggu, 03 Agustus 2008
Tingkatkan Peredaran Uang Kota Anda!
Saya dua tahun lalu pernah dapat tugas bekerja di Sampit, kota kecil di pedalaman Kalimantan Tengah. Waktunya memang tidak lama. Cuma 4 bulan. Tapi waktu segitu sangatlah cukup mengenal seluk-beluknya.
Yup, kota ini paling berkesan adalah soal sepinya. Sampit tergolong kota lambat bangkit setelah didera konflik antar etnis yang teramat sadis. Apalagi semenjak bisnis illegal logging ditertibkan aparat, perekonomian kota itu sangatlah lesu.
Memasuki malam hari, kota semakin terasa sepi. Apalagi kalau sudah jam 9 malam ke atas. Jika saat itu Anda pas kelaparan, sangatlah susah mencari tempat makan. Warung-warung terlihat serempak pada tutup semua.
Yang berseliweran di jalan pun bisa dihitung dengan jari. Jangankan taksi, ojeknya pun tak ada yang lewat. Penduduk lebih memilih berdiam diri di rumah sambil dengar radio, nonton televisi, atau tidur.
***
Mengenang kota Sampit, saya teringat istilah roda ekonomi. Istilah itu acapkali kita dengar. Tapi lumayan sulit digambarkan seperti apa wujudnya. Ada yang menggambarkan roda ekonomi ibarat sebuah penentuan nasib seseorang—kadang berada di atas dan kadang pula tergencet di bawah.
Namun saya lebih tertarik mengistilahkan roda ekonomi itu sebagai laju peredaran uang di masyarakat. Ya, sebuah kota baru bisa disebut perekonomiannya membaik jika peredaran uang di masyarakatnya berjalan lancar. Semakin cepat peredaran uang masyarakat maka akan semakin baik.
Maksudnya apa sih? Simpelnya begini. Bandingkan saja, kenapa peredaran uang masyarakat di kota besar itu lebih lama waktunya dibanding kota kecil. Ini terkait pola hidup masyarakatnya.
Di kota besar itu perekonomiannya tak pernah mati. Bahkan bisa dibilang selalu berjalan dalam tempo 24 jam sehari. Toko-toko di kota besar juga masih buka pada malam hari. Cari makan pada dini hari pun gampang sekali. Itu belum termasuk bisnis hiburan malam yang ada di sana-sini. Otomatis siang maupun malam pun uang masyarakat selalu beredar.
Sampit barangkali tidak hanya satu-satunya kota kecil yang ada di tanah air. Masih banyak lagi yang tak terhitung dengan jari. Bagaimana caranya agar kota kecil itu bisa bangkit?
Ini tugas pemerintah setempat untuk menciptakan pusat-pusat bisnis pada malam hari. Tidak mesti bisnis hiburan malam saja. Masih banyak bisnis-bisnis lain yang bisa digali. Contohnya, Kya-Kya Kembang Jepun Surabaya, Malioboro Yogakarta, dan lain-lain.
Satu hal paling diperhatikan untuk membangun bisnis pada malam hari adalah faktor keamanan. Faktor ini wajib diperhatikan. Mana ada warga yang mau keluar rumah pada malam hari kalau di sana sini banyak penjahat. Mana ada warga yang berani lewat jika banyak pemabuk di jalanan. Mana bisa tentram pedagang berusaha bila banyak orang yang minta “jatah” preman.
Pemerintah dan kepolisian setempat harus bekerjasama menciptakan keamanannya. Tidak usah ragu mengusir preman yang mengganggu roda perekonomian. Bila premannya bandel setujukah Anda dibinasakan saja?
Jumat, 01 Agustus 2008
Pedagang Makin Merana
Untuk bisa terpilih jadi kepala daerah macam walikota maupun bupati pastilah sangat besar ongkosnya. Tidak mungkin hanya modal dengkul saja. Meski ada pihak ketiga membantu, tapi biasanya tidak akan pernah seratus persen. Yang bersangkutan juga pasti malu kalau orang lain terus membayar kampanyenya. Jadi ya harus tetap keluar duit juga.
Adakah cara untuk mengembalikan ongkos yang telah dikeluarkan? Seorang Pak Tua dalam sebuah obrolan tak formal pernah bercerita kepadaku. Ada lho cara gampang mengembalikannya. “Utak-atik saja pasar”.
Yup, pasar di sini memang pasar betulan. Pasar yang merupakan kumpulan toko, kios, bak, dan sebagainya. Pasar yang menjual macam-macam barang, mulai dari pedagang kelontongan hingga menjual lontong beneran.
Lantas darimana uangnya bisa dihasilkan? Tentu lewat kebijakan. Pasar yang ada di wilayahnya diruntuhkan dan diganti dengan bangunan baru. Kok diruntuhkan? Ya, cara itu paling efektif menghasilkan uang.
Awalnya, pedagang pasti akan menolak kebijakan itu. Tapi itu tidak masalah. Pedagang itu pasti punya perkumpulan. Nah, tinggal ketuanya saja yang “dikuasai “, pasti beres deh masalahnya.
Dengan cara diruntuhkan, kepala daerah dan jajarannya akan lebih gampang mengatur ulang posisi pasar. Toko punya pedagang yang dulu ukurannya besar-besar sekarang disempitkan. Dengan mengecilnya luas toko, otomatis memberikan ruang untuk menambah jumlah “toko siluman”.
Tambahan “toko siluman” ini biasanya sangat mudah “dipermainkan”. Statusnya tiba-tiba berubah jadi milik istri, anak, maupun kerabat para pejabat. Supaya adil, pihak legislative juga turut kebagian. Hebatnya lagi, posisi toko-toko siluman “jatah” para pejabat itu letaknya sangat strategis di dalam pasar. Supaya lekas laku pas dijual nanti.
Pedagang penghuni awal di pasar tersebut biasanya hanya bisa gigit jari. Sudah tokonya menyempit, eh posisinya ditempatkan tak strategis pula. Berada di lorong-lorong yang jarang dilewati pengunjung pasar. Kalau mereka mau pindah ke posisi strategis, tentu harus membayar kepada penerima toko siluman dengan harga lebih tinggi.
Para pedagang semakin merana. Usahanya untuk mendapatkan kembali tempat dagangannya yang tak strategis itu pun tidaklah gratis. Semua harus bayar. Bahkan angka cicilannya juga berlipat ganda. Soalnya, lewat cicilan itulah para pedagang secara tak sadar “urunan” menanggung seluruh biaya pembangunan pasar. Tentu saja termasuk toko “jatah” para pejabat di dalamnya.
Para pedagang pun makin “diperas” lantaran tokonya itu tak bisa dimiliki selamanya. Pedagang hanya punya hak guna usaha, bukan hak milik. Dalam jangka waktu tertentu, atau sewaktu-waktu, haknya itu bisa hilang begitu saja jika kepala daerah periode berikutnya kembali meruntuhkan dan membangun pasar baru. Atau kalau cara ini tak berlaku, sering pula digantikan peristiwa musibah “KEBAKARAN”.
Musibah seperti seakan terus terulang. Akibatnya tidak sedikit pedagang yang gulung tikar. Namun ada pula pedagang yang tidak kapok alias jera. Terpaksa tetap terus berdagang, karena hanya inilah pilihan hidup. Kalau tak begitu, mau dinafkahi apa anak istrinya.
Langganan:
Postingan (Atom)